Congratulation Dion
Rasanya, Calvin tidak akan bisa percaya pada pemandangan di depannya.
Ia mematung di tempat, pasokan udara yang berada di sekitar terasa tipis hingga rasanya bernafas pun susah. Jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik.
Dion keluar dengan mata sembab dan hidung yang merah, membuat hati Calvin rasanya sakit bukan main. Tapi fakta dimana ada lelaki mulai mengejar lalu meluk Dion erat, bikin Calvin makin sakit.
“Jade! Lepas!”
Berkali-kali Dion mencoba lepas dari rengkuhan Jade, namun ia gagal karena tenaga laki-laki di depannya ini sangat kuat.
“Stop denial! I can clearly see it from your eyes that you're still love me.”
“Jade, lepas please, gu—”
Sebelum Dion menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ada yang menarik lengannya ke belakang, membuatnya terhuyung hingga hampir jatuh. Jantungnya seolah berhenti begitu melihat siapa penyelamatnya malam ini,
Calvin.
Calvin menggenggam erat lengannya, menyembunyikan tubuh Dion di belakang tubuhnya. “Ngapain di sini, Jade?”
Jade menyugar rambutnya. Kali ini dia tidak mau kalah, karena dia tidak akan membiarkan Calvin memiliki apa yang dia mau dengan mudah. Apa yang Calvin punya dia akan merebutnya, seperti yang sering Calvin lakukan terhadapnya. Ia tidak sudi kalah dari Calvin dalam hal apapun.
“Minggir.”
“Lu yang minggir,”
Jade mulai terkekeh, menatap remeh sepupunya. “Lu masih nggak ngerti juga? Dion mantan gue, lu minggir. Gue lagi ngomong sama dia.”
Calvin mulai mengepalkan tangannya kuat, “gue pacarnya.”
Jade menaikkan satu alisnya, “jangan ngerasa tinggi gara-gara lu pacar Dion. I can still make him break up with you faster than you spell your name.”
“Bahkan gue masih sering contactan sama Dion. He never blocked me. Dia selalu bales kalo gue chat. Asal lu tau dia masih sayang sama gue, lu cuma pelampiasan doang. He's mine.“
Segala emosi yang menyelimuti hatinya itu benar-benar kalah sama rasa kecewa yang mendalam, Calvin nengok ke belakang, netra gelapnya itu bersitatap dengan manik kembar milik Dion. Bisa ia rasakan jari-jemarinya digenggam kuat. Seakan Dion tidak akan melepaskan Calvin barang sedetik.
Deru nafas Calvin yang memburu terdengar jelas di telinga Dion, jantungnya berdegup kencang bukan main begitu bersitatap dengan obisidian gelap yang menatapnya dengan sorot penuh kecewa.
Calvin nengok kearah Jade yang menatap Dion lurus sambil mengepal tangannya kuat. “Lu bisa balik ke mobil dulu gak bentar? gue mau ngomong bentar sama dia. Abis ini lu mau ngomong kek, ciuman, balikan gue nggak peduli. Kasih gua ruang dulu.”
Tanpa menjawab sepatah kata, Jade akhirnya beneran ngasih ruang buat Calvin dan Dion.
“Ikut saya,” Calvin mulai berjalan kearah mobil yang ia parkirkan di belakang mobil Jade dengan Dion yang mengikuti dari belakang.
Sesampainya di mobil Dion mulai narik pergelangan tangan Calvin, namun langsung ditepis. “Yang dibilang Jade bener? Bener kamu masih balesin chat dan gapernah block nomernya?”
Dion mulai natap netra pekat Calvin, Calvin bisa melihat sorot sendu dari sana, mohon ampun dan seolah memintanya untuk tetap tinggal.
“JAWAB!”
Dion yang sejatinya belum pernah mendengar sisi keras Calvin langsung terkejut begitu suara lelaki itu meninggi. “I-iya, bener.” Calvin mengusak wajahnya kasar.
Sebisa mungkin Dion semakin tahan kuat airmata di pelupuk mata yang siap turun kapan saja, menepis segala fakta bahwa hatinya berdenyut sakit melihat Calvin yang biasanya sehangat matahari bisa sedingin es.
“T-tapi gue gak sayang dia lagi. I don't love him anymore. I swear, Al. I—”
“Kamu tau ta, Jade punya pacar. Tapi tetep kamu respon. Kesalahan kamu disitu, apa kamu nggak mikir berapa banyak pihak yang kamu sakitin karena hal ini?”
Nada dingin yang keluar dari bilah bibir Calvin membuat Dion bungkam.
Calvin menghela nafasnya panjang, kepalanya mendongak sebentar. Sorot kecewanya sangat terlihat, menusuk Dion hingga hati terdalamnya. Dia tidak pernah melihat Calvin sehancur ini. Dia tidak pernah melihat sisi Calvin lainnya selain Calvin penyabar. Tangannya terulur untuk mengenggam tangan Calvin sebelum akhirnya Calvin menatap sinis tangannya hingga menepisnya.
“Saya sudah selesai berbicara, bisa kamu keluar dari mobil saya?”
Kali ini Dion Dirgantara kembali kehilangan sosok laki-laki yang berpengaruh dalam hidupnya.
Pikirannya dipenuhi dengan kalimat yang semakin membuat dadanya terasa sesak,
Congratulation Dion, finally you meet the right person. But now, the wrong person is you.