Dion
Manusia sering sekali menginginkan sesuatu. Lalu saat berhasil mendapatkannya, jangankan bahagia, dunianya malah hancur menjadi debu. Kenapa bisa begitu?
Sebab biasanya manusia sulit memahami diri sendiri. Tidak menyadari apa yang di mau oleh jiwa dan raga. Hal yang ia inginkan justru berpeluang membuatnya mati berdarah-darah. Hal yang ia sangka baik, nyatanya hanya kamuflase dari bentuk pilihan terburuk. Sialnya, manusia akan menyadari hal tersebut saat kata hancur sudah di depan mata.
Satu dari sekian banyak manusia sial tersebut adalah Dion Dirgantara yang kini tengah terduduk di tepi ranjang sebuah kamar tanpa ada sumber cahaya sedikitpun, kecuali dari layar ponselnya yang masih menampilkan ruang obrolan dengan sahabat yang membawa informasi bahwa Calvin sudah menyerah terhadapnya. Seperti yang ia mau. Kedua tangannya terkepal erat, membuat kuku menancap sadis pada telapak tangannya yang pucat.
Informasi yang sebenarnya sudah ia duga, tapi tak ia sangka saat menerima informasi itu dirinya akan diserbu oleh ribuan jemari tak kasat mata yang kemudian mencekiknya tanpa iba. Menghadirkan gelak tawa yang menertawakan kondisinya. Menghancurkannya yang sudah tak karuan bentuknya menjadi kepingan yang lebih kecil lagi.
Calvin Mahendra menyerah.
Seperti yang dia mau. Tapi kalau dilihat dari keadaan Dion saat ini, kepergian sang mantan kekasih bukanlah yang sebenarnya ia butuhkan.
Namun, Dion tetaplah Dion si pengecut yang selalu membiarkan luka menguasai dirinya. Mengontrol akal sehat dan menumbuhkan duri semakin banyak dihatinya. Si penakut, yang selalu berlindung dalam tempurung hingga lukanya membusuk, dari pada keluar menyambut pertolongan baik.
“Lu udah pernah ngalamin ini, Yon.” rapalnya berulang kali guna menenangkan diri. “Lu udah terbiasa kayak gini, jadi kali ini lu juga pasti bisa, Yon.”
Ini memang bukan kali pertama bagi Dion. Sakitnya, sesaknya, rasa mencekiknya, ini semua bukan hal yang asing. Bedanya dulu sakit karena Ayahnya yang selalu bertindak semaunya pada Ibu, Adik, bahkan dirinya. Lalu sesak dan mencekik itu muncul kala Jade memutuskan hubungannya secara sepihak.
Dion terbiasa.
Ia sudah berteman baik dengan nyeri di dada. Ia hanya butuh tidur se-lama mungkin. Lalu terbangun dengan pikiran, jiwa dan perasaan yang kosong hingga tiba di titik hampa.
Nahas, baru saja kepalanya menyentuh bantal dan badan tertutup selimut rapat, bukan mimpi yang menjemput justru kenangan kencan pertama dengan Calvin menarik paksa keluar dari persembunyian, juga potongan-potongan memori lain di mana ada calvin di dalamnya; Saat pertama tak sengaja bertemu Calvin di depan kost-nya, mengajak Calvin minum kopi sebagai ucapan terimakasih karena telah menolongnya dan berusaha memblock nomornya, tapi justru berlanjut menjadi obrolan virtual yang menyenangkan. Saat pertama kali calvin menggenggam tangannya sampai saat Calvin mantapnya dengan tatapan kecewa saat melihat dia dengan Jade tempo hari. Bagai reka ulang kejadian, yang sialnya sukses menambah rasa sesak di dada. Membuatnya sakit bukan main, hingga pukulan bertubi-tubi yang ia berikan di sana tak berasa apa-apa.
Dan dengan lancangnya perkataan Jade saat menemuinya justru beresonansi begitu keras di telinganya. *“Gue masih sayang sama lu waktu kita pisah, tapi gue juga nggak bisa relain masa depan gue cuma karena sayang itu. Gue pengen punya keluarga yang harmonis, dan itu semua nggak mungkin gue bisa dapetin elu. Elu yang gampang emosian dan semaunya sendiri kayak bokap lu. Because sadly, the apple never falls far from a tree. You eventually like your father, and i can’t afford to lose my dream family to that.”
“Gue sempet tutup kuping sama orang-orang yang bilang pacaran sama anak broken home itu cari sakit hati doang. Gue pikir elu beda dan kita bisa jalanin itu, tapi kelamaan lu mulai buktiin apa yang orang-orang bilang itu bener. You started to show your true colors. The you that really broken, to the point that i need to be extra careful to treat you. Perlu ngeluangin banyak waktu supaya lu ngeasa dicintai. Gue perlu memahami lu lebih baik dari gue ngerti diri gue sendiri. Gue harus dengerin lu, buat semua kisah sedih lu. Gue ngarasa gue bukan pacar lu tapi care giver lu. Bukannya bahagia tapi justru beban yang gue dapet. Gue nggak bisa nanganin lu, Yon. elu kayak bom yang lagi nunggu waktu buat meledak dan ngancurin orang-orang yang di sekitar lu. Ardion, the worst thing is you and you can’t be helped anymore.”*
Kala itu Dion hanya anak yang baru puber, yang tidak tahu arti cinta. Jade itu cinta pertamanya. Dia segalanya buat Dion. kehadiran Jade dihidupnya mungkin hanya selewat, namun kenangannya cukup banyak dsn susah ia lupa. Meskipun Jade juga banyak memberikan kenangan buruk, tapi tidak bisa dipungkiri kalau hanya Jade yang bisa membuat seorang Dion Dirgantaramenampilkan sisi manjanya, menceritakan segala cerita yang tersimpan rapat oleh dirinya sendiri dan membuat Dion rela memberikan segalanya asal pemuda itu tetap tinggal dan tak pergi karena ia sudah jatuh cinta pada pemuda itu berulang kali.
“Arrrghhh, bangsat!” Dion melemparkan bantalnya.
Rasa takut mulai menyelimuti Dion. Bukan pada kenyataan, melainkan pada dirinya sendiri.
Saat ini, Dion sangat takut dengan dirinya sendiri dibanding apapun. Di mana otaknya bekerja tanpa dilindungi kewarasan. Tubuhnya bergera tanpa akal sehat. Sungguh, Dion sangat takut. Sendirian di saat berada di titik terendah seperti ini membuatnya teramat takut, sampai-sampai bernafas pun sulit untuk dilakukan.
Ia ingin seseorang memeluknya. Ia ingin seseorang merengkuh tubuhnya dengan erat. Teramat erat, sampai seluruh kepingan yang sudah bercecer di lantai bisa kembali bersatu.
Ia ingin seseorang hadir di sisinya. Tak perlu untuk berkata-kata, hanya cukup ada bersamanya. Memberitahu lewat aksi, bahwa Dion tak akan pernah sendiri. Meyakinkannya, bahwa ia akan baik-baik saja.
Bima benar. Dion selalu bilang tak butuh siapapun, saat kenyataannya ia butuh. Ia selalu butuh kasih sayang yang mereka berikan. Ia selalu butuh kehadiran serta ketulusan orang lain di hidupnya. Selalu.
Atau lebih spesifiknya, bukan sekadar seseorang, mereka, atau orang lain saja, melainkan Calvin Mahendra. Hanya Calvin Mahendra.
Sebab hanya pria itu satu-satunya orang yang mampu menenangkan kekalutan dalam hati dan kepalanya hanya dalam hitungan menit. Ia satu-satunya orang yang mampu membuatnya merasa aman, ketika dirinya tengah berada di ujung jurang sekalipun.
Ia ingin Calvin. Ia butuh Calvin.
Namun, bukankah tak tahu malu jika kini, ia memohon pada Calvin untuk kembali? Untuk mengulurkan tangannya lagi? Untuk memberikannya kesempatan agar dapat jujur pada diri sendiri?
Bukankah itu malah semakin membuktikan, ia dan ayahnya tak ada beda? Sama-sama ‘semaunya’ terhadap orang yang ia sayang.
Apa Dion memang sebrengsek itu? Sebajingan itu?
Fuck, Dia benar-benar ingin berteriak. Dia ingin menangis. Tapi dia tidak bisa. Bahkan air mata menolak untuk menyentuhnya. Menolak untuk membantunya mengurangi rasa sakit di dadanya. Menolak untuk membantunya bernapas, dan memberinya satu kesempatan lagi untuk hidup.
Sontak dengan tangan super gemetar dan jantung berdegup super frantik, Dion meraih ponselnya. Bergerak menuju kontak bernama Al.
Anggota tubuh itu kemudian diam, melayang tepat di atas opsi memulai panggilan. Tengah menghimpin seluruh energi agar tetap tahu diri dan tahu malu. Agar tetap mengingat alasan utamanya menjauh dari Calvin.
Lalu, tidak tahu patut disyukuri atau tidak, ibu jari yang masih bergetar hebat itu secara tak sengaja menyentuh opsi telepon.
Sentuhnya pun samar saja. Namun entah sebercanda apa eksistensinya bagi semesta, sentuhan kecil itu tetap mampu membuatnya tersambung dengan sang mantan kekasih.
Dan kalah cepat tangan Dion dalam memutus panggilan, orang di seberang sana lebih dulu menerima dan menjawabnya.
“Kenapa?”
Serta-merta, Dion tecekat sesaat. Suara yang baru ia tidak dengar dalam hitungan minggu, nyatanya ia rindukan setengah mati. Suara yang meski tak terdengar selembut biasanya itu, nyatanya tetap mampu membuat napasnya melaju sedikit lebih leluasa.
Lucu, bukan?
Bagaimana Dion begitu kekeuh mengusir Calvin dari hidupnya, saat pemuda itu lah yang sebenarnya bisa membuatnya merasa lebih ‘hidup’. Bagaimana Dion begitu takut Calvin tersakiti olehnya, saat langkah yang ia ambil justru membunuh perlahan dirinya.
Sangat lucu, tapi begitulah manusia, ketika tak punya rasa sayang terhadap jiwa dan raga yang dititipkan Tuhan. Ketika mereka sangat menyayangi orang lain, jauh sebelum sayang itu diberikan pada dirinya sendiri.
“Halo?”
Ia menimbang. Haruskah menjadi orang yang berkali lipat lebih brengsek dan memohon pada Calvin untuk datang atau membebaskan pemuda itu sesuai dengan niat awalnya.
Bibir yang sedari tadi sudah ia gigit untuk mendistraksi rasa sakit di hati dengan sakit yang lebih nyata, kini menjadi semakin kencang gigitannya. Hingga sekelebat rasa asin dirasa oleh lidah.
“Kalau gak ada apa-apa, aku matiin — “
“Takut.”
Dan seakan peringatan Calvin begitu menyeramkan baginya, sebuah kata refleks meluncur begitu saja. Terdengar bergetar, serak, dan agak tak jelas karena diselingi napas yang sedikit-banyak masih tersendat.
“Al, gue takut — “ Kalimat yang meskipun sederhana, tetapi sebenarnya adalah pengakuan terjujur yang pernah Jamie kemukakan. “Gue takut banget sama diri gue, Al…”
Selama dirinya mampu mengingat, Dion sudah hidup berdampingan dengan rasa takut. Terhadap hidupnya, dirinya, takdirnya, semua tentangnya. Perasaan itu tumbuh sumbur, seiring kejamnya orang-orang yang awalnya ia percaya, secara sadar atau tidak berakhir menyakitinya.
Satu yang perlu diketahui, rasa takut adalah sebenar-benarnya bom waktu. Emosi itu mungkin disebut-sebut lemah, namun sesungguhnya, saat membludak nanti, ia menjelma jadi perasaan yang begitu kuat hingga mampu menghancurkan hal setangguh diri. Hingga mampu memporak-porandakan hal sebesar hidup.
Dan ini kali pertama Dion dengan lantang mengaku takut. Bukan pada apapun dan siapapun, melainkan pada dirinya sendiri.
Dirinya yang begitu takut, hingga menyiksa jiwa raganya. Dirinya yang begitu takut, hingga melukai orang lain.
Namun saat ia mengaku, Calvin malah membisu.
“Can you… Can you please pick me up..?”
Saat ia memberanikan diri berteriak minta tolong, Calvin malah bungkam.
“Please, Al..”
Ya, Ardion berakhir jadi si tidak tahu malu, yang kembali berharap masih tersisa setitik rasa di hati Calvin untuknya. Meski itu hanya iba.
Atau sebenarnya, ia justru menjadi si pemberani, yang akhirnya berhenti bersembunyi dan lari dari masalah yang dimiliki?
Kondisi pertama atau kedua yang benar sekalipun, ia sudah terlambat. Sebab alih-alih sebuah jawab, yang didapat pertama adalah kekehan kelam nan singkat.
“Aren’t you the one who push me away?” Serta, sebuah dengusan yang sukses mengoyak hati. “Now you want me top pick you up? Really?”
Jantung Dion terasa berhenti bekerja.
“Am I that easy for you, Dion?”
Dan dengan pertanyaan terakhir itu, dengan namanya yang hampir tidak pernah digunakan Calvin untuk memanggilnya, dengan nada suaranya — seluruh hidup Dion berantakan tanpa ada yang harus disalahkan.
Tidak ada, kecuali dirinya sendiri. Karena luka lama dan ketakutannya sendiri adalah orang yang membuat Calvin lelah padanya. Membuat semua orang menyerah padanya.