i really do love you
Dion dengan rambut basah yang masih meneteskan beberapa tetes air, handuk yang mengalung di leher berjalan mendekati Calvin yang sedang duduk di tepian ranjang. Langkahnya ragu dan amat perlahan, tangannya tergenggam erat di depan badan.
“Duduk sini.” Perintah Calvin, sambil menarik sebelah tangan Dion untuk duduk di sampingnya.
Calvin membuka kotak P3K yang berada di sisi lain tubuhnya.
“Pinjem tangannya.” Sadar apa yang akan dilakukan Calvin padanya, Dion secara otomatis menarik tangannya menjauh. Menyembunyikannya di belakang badan.
Calvin tahu apa yang di pikiran Dion saat ini, dia pasti malu. Dion lantas menggeleng kecil, bermaksud menolak.
Respons yang malah dijawab Calvin dengan seulas senyum. “Gakpapa, sini aku obatin, ya?” Serta, sepasang tangan yang menengadah di atas pahanya. Yang dengan sabar menunggu sang terkasih bersedia mengabulkan permintaannya tadi. “Gak perlu malu. Aku gak akan anggap kamu aneh-aneh kok.”
Walau masih sedikit diselubungi ragu, akhirnya Dion memberikan tangannya pada Calvin. Ia membuka kepalannya perlahan. Menunjukkan barisan luka yang menghiasi telapak pucatnya.
Dihadapkan luka bekas kuku-kuku yang menancap itu seketika buat Calvin mengerti, mengapa Dion suka sekali bekerja. Meski di hari libur atau akhir pekan sekalipun, ia tetap bekerja. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi nya.
Hal itu ternyata caranya dalam mendistraksi diri dari semua permasalahan duniawi yang dimiliki. Sama seperti luka-luka ini — bukti konkrit akan usahanya mengalihkan perhatian dari serangan panik yang berpotensi merampas hidupnya.
Mungkin di mata sebagian orang, orang-orang seperti Dion dinilai aneh. Namun Calvin mengerti, tidak semua orang dapat bertahan hidup dengan cara sewajarnya.
Some people hurt themselves to keep breathing. Some people hurt themselves to feel alive. Some people hurt themselves to survived.
Itu salah. Benar-benar salah, tapi siapa Calvin hingga berani untuk menghakimi? Dia tidak pernah berada di posisi mereka. Dia tidak pernah menderita sama seperti Dion.
Tak sadar, pikiran yang berputar di kepala Calvin membuat pandangannya terarah pada luka Dion dalam durasi terlalu lama. Si empunya lantas merasa sedikit tak nyaman. Ia merasa dihakimi oleh sepasang netra.
Namun, belum sempat berlarut-larut tenggelam dalam prasangka buruknya, perasaan negatif itu ditebas habis oleh tindakan tiba-tiba Calvin. Sebab bukan hanya memandang, jermari Calvin juga mulai berjalan mengambang di atas luka Dion. Menyentuhnya samar dan pelan, seakan permukaan tangan itu merupakan kaca yang rentan retak.
Lalu, seolah tak cukup menganggetkan Dion, si pemuda malah membawa tangan itu mendekat ke bibir. Membiarkan kecupan manisnya menyentuh setiap luka yang terlukis di sana.
Semuanya, tanpa terkecuali. Tanpa ada yang tertinggal.
“These wounds need to be appreciate,” tuturnya, usai seluruh luka Dion telah disapu bersih bilah kenyal si pemuda. “Because they’re the proofs of your victory against this shitty life.”
Sontak, Dion termangu.
Calvin Mahendra… he’s unreal.
“When you feel like suffocating or need distraction, call me, Taa. Talk to me. Jangan kayak gini lagi, oke?”
“Kan kita lagi berantem tadi.”
Calvin terkekeh singkat. “Lagi apapun, kalau kamu telepon dan aku tau, aku pasti angkat kok. Kalau gini, kamu malah makin sakit.”
Sambil menjawab, jemarinya dengan lihai mengoleskan salep pada luka Dion. Lamat-lamat dan hati-hati, berusaha sebisa mungkin tidak menyakiti.
Dion memperhatikan bagaimana jemari besar Calvin berpindah dari satu sisi ke sisi lain telapaknya. Ia memperhatikan bagaimana dirinya sesekali mendongak, untuk mengecek ekspresi Dion. Ia memperhatikan bagaimana surai hitamnya yang tampak begitu lembut jatuh menutupi dahi.
Hanya melihatnya begitu saja, jantung Dion langsung berdegup lebih cepat dari biasanya. Namun, bukan tipikal detakan yang ia benci. Yang ia dapat karena pikirannya sedang kalut.
Peningkatan tempo detak jantung ini justru Dion sukai. Sebab itu yang menjadi salah satu hal yang membuatnya merasa hidup.
Dion mengulurkan tangannya, yang sudah selesai diobati. Lantas jemarinya membelai pelan tumpukan surai legam itu.
Membuat Calvin agak terkesiap dan mendongak. “Kenapa, Taa?”
“Do I ever tell you how much you mean to me, Al? How much I love you?”
“No.” Kali ini, giliran Calvin yang menggeleng. “Do you ever love me, Taa?”
“I do.” Lugas dan tegas, jawab itu diberikan, sambil menatap tepat di manik pekat Calvin. Membiarkan pemuda itu melihat sejuta kejujuran yang menyesaki irisnya. “And that love gets bigger and bigger each seconds.”
Juga, sambil mengusap lembut rahang sang tersayang. Membiarkan kasih tersalurkan lewat sentuh jemarinya.
“I am truly, deeply and madly in love with you, Calvin Mahendra.”
Dengan jantung berdebar abnormal, Calvin mencoba mencari kebohongan dalam manik coklat gelap Dion. Atau mungkin, ketidak yakinan. Apapun yang menunjukkan bahwa pemuda itu tidak serius.
Namun, tak ada sama sekali. Yang ia temukan justru binar jujur dan tulus, memperindah mata sembabnya. Membuatnya berkilau bak permata termahal di dunia.
Tanpa menunggu satu detik lagi berlalu, Calvin langsung menyingkirkan tangan Dion di wajahnya. Bersamaan dengan tangan lainnya yang bergerak menarik tengkuk pemuda itu.
Hingga bibir masing-masing akhirnya kembali bertemu, setelah berminggu-minggu menjadi asing. Saling melepas rindu, dalam ciuman yang meskipun sederhana, namun tetap menimbulkan candu.
Tanpa ada yang tau, lewat gerak bingkai kenyal itu mereka saling berkata cinta. Saling memberitahu, bahwa yang satu begitu mencintainya. Dan satunya lagi tak akan pernah menyerah padanya.
“Aku sayang kamu.”
Lalu untuk kesekian kalinya, Dion kembali mengaku cinta. Sambil mendusalkan wajah di ceruk leher lelaki favoritnya itu, ia kembali membisikan kata yang hanya layak diberikan padanya.
“I really do love you, Calvin Mahendra.”