rumah camer
Dion tetap cengo walaupun udah pernah tinggal di rumah besar ini beberapa hari. Ia baru menyadari ada ruangan ini, dimana banyak buku berjejer dari kanan ke kiri dan juga beberapa foto keluarga yang punya visual di atas rata-rata. Mba Yura ternyata sangat cantik, pantas saja Al menamai kontaknya 'si cantik.'
Ini keluarga beneran keturunan dewa-dewi yang ketumpahan koin surga alias ganteng, cantik dan kaya raya.
“Al, gue ngapain?”
“Duduk, tunggu Mom sama Dad turun.”
“Tapi gue nggak enak cuma diem doang sementara banyak mbak-mbak yang hilir mudik nata meja makan.”
Calvin menghela napas, “gini loh sayangku, kamu ini tamu yang di undang buat makan di sini bukan buat bantu-bantu.”
Dion sudah mau mendebat perkataan Calvin tapi mulutnya kembali tertutup rapat dan menampilkan senyum secerah dan semanis yang ia bisa saat Mom dan Dad sampai di meja makan.
“Ardion?”
“Iya, Om.” Jawab Dion diakhiri dengan senyuman.
“Sudah kenal lama sama Calvin?” Ganti, Mom yang bertanya.
“Baru beberapa bulan ini, Tante.”
“Belum lama ternyata ya.”
“Iya Tante.”
Calvin khawatir, jujur dia juga sama takutnya dengan Dion karena mereka ini benar-benar berbeda, bagaikan langit dan bumi tapi nyatanya mereka bisa menyatu bahkan melampaui ekspetasi.
“Kamu suka baca buku nggak?”
“Suka tante, tapi aku sukanya baca novel kalo yang berat-berat gitu kayak nggak cocok aja rasanya.”
“Sukanya literasi fiksi ya ternyata.”
“Iya Tante kayak Percy Jackson gitu, cerita tentang mitologi dewa Dewi Yunani.”
Dad cuma diam, tapi Calvin tahu kalau Dion sudah berhasil masuk dan curi perhatian.
Kekhawatirannya ternyata tidak berguna karena Dion sudah mencairkan suasana dan membaur dengan kedua orangtuanya. Ia juga harus mengucapkan beribu terimakasih pada Mommy setelah ini karena tidak menanyakan tentang latar belakang Dion sama sekali.
Dion.... Wah, Calvin dibuat takjub dengan tindak tanduk Dion yang mendadak elegan dan sopan ini sepertinya nggak cocok disandingkan dengan kata tersebut.
Cara Dion duduk tegap, makan dengan benar dan sendok yang cari mulut alias tidak membungkuk ini jelas beri satu centang di kriteria menantu bagi Dad dan Mom.
“Gimana makanannya, sesuai selera?”
“Enak banget om, jelas jauh dari seleraku yang suka makanan pinggir jalan.”
“Loh, om juga suka kulineran makanan pinggir jalan.”
“Wah, iya?”
“Iya, bisa lah kita ntar kapan-kapan kulineran bareng.”
“Rame ya ada kamu disini. Pasti kamu ya yang banyak ngomong kalo lagi sama Calvin?” Tanya Mom sambil lap mulut pakai tisu.
“Nggak juga Tante, Al juga seru kok hehe.” Dion mencubit paha Calvin, bersitatap lalu beri kode lewat senyum yang Calvin sendiri jelas tahu apa artinya.
“Mom, Dad. Al, bawa Dion istirahat dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa bisa telfon aja.”
“Istirahat yang santai ya, anggep aja rumah sendiri.” Dad ikut berdiri dan mengantar kedua anak lelaki ini sampai ke tangga berputar ke lantai dua.
Calvin menggenggam tangan lelakinya begitu pintu kamar tertutup, Dion menarik tangan Calvin hingga dia jatuh diatas badan pacarnya.
Calvin memeluk Dion sambil mengistirahatkan dagunya di pucuk kepala lelakinya.
“Al, gue malu-maluin nggak?” Tanya Dion pelan.
“Enggak. Sama sekali nggak.”
Calvin usap punggung yang naik turun ini.
“Al”
“Hm?”
“Gue deg-degan banget tadi.”
“Kenapa?”
“Bapak lu ganteng banget.”
“HEH”
Dion mencubit perut Calvin, lalu berlari memeletkan lidah dan berakhir masuk dalam pelukan Calvin yang menggelitiki pinggangnya.
“HAHAHAHAHA.”
Gelak tawa keduanya bersautan meramaikan udara.