Lovelikecyks

Selepas memberi Calvin handuk dan baju ganti, Dion benar-benar mengabaikan keberadaan lelaki itu, ia tetap fokus pada drama yang sedang ditontonnya sambil memakan gultik yang dibawa Calvin tadi. Mengabaikan Calvin yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk tersampir di leher dan tetes-tetes air dari rambut basahnya.

Yang lebih tua duduk di belakang yang lebih muda, melingkarkan tangan di pinggang si manis yang terlihat tidak keberatan dengan aksinya.

“Kamu lama ya nungguin aku?” Tanya Calvin dengan menempelkan dagunya di kepala Dion.

“Maafin aku.” Lanjutnya, lalu mencium rambut Dion berkali-kali. Dion masih nggak perduli dan asik aja ngunyah makan malamnya yang telat.

“Ih, sakit kepala gue.” Dion menggeser kepalanya yang tertindih dagu.

“Maaf.” Calvin menjauhkan kepalanya sedikit supaya tidak menganggu Dion.

“Hm”

Calvin mengelus pipi Dion, “dimaafin atau nggak?”

“Iya gue maafin, udah ah lepasin.

Lain kali kalo lu lagi sibuk dan gak bisa jemput ya bilang, gue juga bisa pulang sendiri. Gue marah bukan karena nggak lu jemput tapi karena lu nggak ngasih kabar apapun sampe bikin gue nebak-nebak dan bingung sendiri.”

“Iya Ta, aku tau aku salah dan kedepannya aku bakal selalu ngabarin kamu biar kamu nggak bingung.”

Lalu keduanya fokus menonton tv. Dion saja sebenarnya, kalau Calvin sih niat awalnya kesini kan untuk minta maaf dan kangen-kangenan, bukan untuk menonton tv, jadi mau ada jaksa yang lagi kejar-kejaran sama megalodon juga tidak akan terlihat di matanya. Fokusnya dari tadi hanya pada bibir Dion yang sibuk mengunyah nasi.

“Enak banget ya, sampe aku nggak ditawarin” iseng Calvin.

Dion mendongakkan kepalanya ke atas, ke arah Calvin. “Mau?“lalu menyodorkan sesendok nasi dari piringnya.

“Nggak yang, tadi aku cuma becanda. Kamu aja yang makan biar makin berisi.” Calvin menepuk-nepuk nepok-nepok perut Dion gemas.

“Serius, mau nggak?”

“Nggak, sayang. Tadi kan aku udah makan.”

Dion meletakkan piringnya agak jauh, lalu mengambil minum

“Loh udahan makannya?”

“Belum, minum dulu” lalu lanjut lagi menyendok nasi bercampur gulai yang tinggal setengah di piringnya.

Hadaah. Lama. Batin Calvin gregetan.

“Udah?” Tanya Calvin lagi begitu Dion menyenderkan badan padanya.

“Kenapa sih daritadi nanya itu mulu”

“Nggak apa-apa. Udah kan tapi?”

“Ya udah lah, orang abis juga, tinggal piringnya aja nih ya kali gue makan dikata kuda lumping apa ya gue.”

Calvin tersenyum, lalu menarik pinggang ramping pacarnya supaya duduk di pangkuan dia.

Dion melihat Calvin yang juga sedang melihat dirinya dari samping.

“Apasih?” tanya Dion, menaikan alis.

“Apanya?”

“Muka lu jelek banget”

“Buset yang.”

“He'em, muka lu jelek, mesum juga tau” Dion mendusel di leher Calvin. Buat yang dikatain jadi tertawa mendengarnya.

“Mesum. Tapi diduselin. Apa tuh namanya?” Tanyanya sembari mengambil tangan Dion untuk dicium.

“Apa?”

“Mancing”

“Mancing mania?”

“Mantap”

Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Ssst dah malem, jangan kenceng-kenceng nggak enak sama tetangga sebelah kamar kamu” Calvin menaruh satu jari di depan bibir Dion. Tapi jarinya malah digigit oleh si manis.

“Kok digigit” protes Calvin.

“Ya elu ngasihin”

“Jangan gigit yang ini”

Belum sempat Dion bertanya 'terus gigit yang mana?', jarinya langsung diganti oleh Calvin dengan bibirnya sendiri. Berujung kedua sejoli itu ciuman dengan dilihat para jaksa di tv.

Ini bukan kali pertama mereka berciuman tapi ciuman kali ini rasanya berbeda, Calvin mencium nya dengan sangat lembut,mengungkapkan bagaimana ia sangat sayang, cinta dan penuh damba pada lelaki yang sedang ia paut bibirnya, dan rasa itu sampai pada Dion, ia bisa merasakan semua itu. Dion mengganti posisinya supaya berhadapan dengan Calvin dalam pangkuan, membuat tautan bibir mereka semakin dalam. Calvin mengelus-ngelus pinggang ramping Dion, sesekali tangan dinginnya masuk ke dalam baju, mengelus pinggang sampai ke punggung pacarnya pelan, membuat Dion merinding sebadan-badan merasakan sensasinya. Ciuman mereka berlangsung lumayan lama sampai Dion mulai merasa kehabisan nafas.

“Rasa gultik” kata Calvin waktu ciuman mereka terlepas.

“Ih!” Dion menabok pundak Calvin dengan kencang. Lalu menyembunyikan wajah di leher yang lebih tua. Malu.

“Hahaha becanda. Enak kok” ucap Calvin, mengusap-ngusap punggung Dion.

“Diem gak lu” Salah banget Calvin ngomong kayak gitu, yang ada Dion malah semakin malu.

“Hey, kok ngumpet gini sih” Calvin mencoba menarik tangan Dioln untuk duduk tegak, tapi anaknya masih betah menyembunyikan wajah.

“Tata”

“Hmm”

“Liat sini.”

“Nggak mau.”

“Bentar aja.”

“Mau ngapain?” Dion akhirnya duduk menghadap Calvin.

“Cium lagi.”

Puk! Mulut Calvin dipukul sama Dion.

“Sakit, yang.”

“Lah, maaf kekencengan.”

Setelah itu bibirnya Calvin di elus-elus, berakhir dengan saling beradu tatap dan lanjut berciuman lagi.

“Bengkak dah bibirnya.” Calvin senyum-senyum mengelus bibir Dion yang kemerahan.

“Masa?”

“He'em”

Dio memanyunkan bibirnya, gelendotan di leher sembari ngerebahin kepalanya di pundak sang pacar. Sedangkan Calvin asik menciumi rambut Dion yang wanginya seger banget.

“Aturan mah gue masih males liat muka lu, tapi yaudah lah cape ngambek lama-lama, ujung-ujungnya kangen juga.” kata Dion terus ngumpetin mukanya lagi di leher Calvin, menciumi aroma maskulin dari badan cowoknya.

Calvin sudah menahan senyumnya dari tadi. Baru kali ini ska nemuin Dion manja plus nggak gengsian kayak sekarang.

Memang tidak bisa dipungkiri waktu yang mereka habiskan bersama cukup sedikit apalagi akhir-akhir ini keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing padahal mereka baru saja resmi berpacaran. Otomatis rasa kangennya jadi numpuk. Belum lagi Calvin harus berurusan dengan keluarganya. Bikin kepalanya makin puyeng aja.

“Yang, aku pulang ya. Udah malem”

Dion mengecek jam di dinding kamar, hampir jam 11. Lalu kembali gelendotan lagi sama Calvin.

“Nanti aja sih” rengeknya manja.

“Nggak enak sama tetangga kalo kemaleman”

“Ga apa-apaa, tetangga gue mah pengertian”

Calvin mana nolak rejeki nomplok seperti ini.

“Tadi kamu kemana sih? Sampe nggak bisa di hubungin?”

“Makan malem sama Oma.”

Dion menganggukkan kepalanya. Mengerti.

“Hari ini capek banget ya yang?”

“Bangettttttttt.”

Obrolan mereka berlanjut, membahas apa saja yang mereka lalui hari ini. Dion menceritakan semuanya tanpa terkecuali, sedangkan Calvin banyak yang ia tutupi terutama tentang pertemuan keluarganya tadi. Dion sudah sebagian besar menceritakan semua tentang dirinya mulai dari keluarga, mantan dan teman-temannya karena menurut Dion keterbukaan dalam suatu hubungan itu sangat penting tapi Calvin masih enggan untuk terbuka pada Dion.

Calvin menarik nafas, menggeser duduknya supaya lebih dekat dengan Dion.

Dari jarak segini dia bisa melihat bibir Dion bergerak-gerak seolah menggumamkan sesuatu tanpa suara, matanya nunduk terus masih enggan untuk melihat Calvin sepertinya.

“Hey.” Panggil Calvin, pelan-pelan mencoba untuk mendekat lagi.

“Hey, noleh sini dong”

“Hm.”

“Maaf ya.”

“Hm.”

“Ngadep sini dong Taa, kalau diajak ngobrol.”

Dengan terpaksa Dion mengangkat kepalanya, menatap muka sang gebetan yang jaraknya tak terlalu jauh dari mukanya sendiri. Nggak ada muka kesal atau tatapan tajam karena sebenernya Dion sudah tidak marah lagi, tapi dia gengsi aja kalau harus mengajak Calvin buat ngomong lebih dulu.

“Dimaafin nggak?”

Dion memutar bola matanya. Dia sengaja karena melihat Calvin memohon maaf padanya seru juga ternyata.

Calvin yang mendapat rolling eyes ngucap aja dalem hati. Mau di tegur juga posisinya nggak tepat.

“Hey.”

“Apa?”

“Dimaafin nggak?”

“Tau dah.” jawab Dion jutek parah.

“Saya tahu saya salah, kedepannya kejadian kayak gini nggak akan keulang lagi. Saya janji.” Dengan nekatnya Calvin menempelkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Dion, dirasa nggak ada penolakan dia mulai mengaitkan jari kelingking mereka berdua. Sebagai janji kalau kedepannya dia nggak akan ngulangin kebegoan hari ini.

Andai aja salah satu temennya ada yang ngeliat dia lagi ngerengek minta maaf gini, gonjang ganjing dah dunia persilatan.

“Taaaaaa.”

“Apa ih.”

“Dimaafin ya?” Calvin ngegoyang-goyangin jari kelingking mereka yang saling bertaut.

“Tar.”

“Kapan?”

“Kapan aja, suka-suka gue lah.”

Calvin berenti ngegoyang-goyangin kelingking mereka, bibirnya agak maju dikit terus memble gitu, dia juga nggak sadar sama ekspresi mukanya sendiri mungkin ya naluri aja karena lagi sedih jadi ya begitu.

Dion yang ngeliat muka Calvin memelas kayak gitu jadi nggak tega, rada gemes juga, tapi ya mana mungkin dia nunjukin apa yang dia rasain sebenernya.

“Anjing! Nggak usah memble gitu.” kata Dion galak, melotot pas liat Calvin mulai ngangkat tangannya yang bebas ke atas.

“Apa? Apa? Mau nyentil bibir gue? Coba aja nggak bakal gue maafin lu sampe lebaran monyet.”

“Enggak.” jawab Calvin kalem.

Dion buang muka sebenernya dia udah mau maafin Calvin, nggak tega juga ngeliat cowok badan keker kayak Calvin masang muka melas gitu, tapi pas dia liat beberapa cilor yang ada di meja emosinya naik lagi. Nginget gimana bego nya Calvin yang beli cilor udah kayak mau hajatan jadi nggak kasian lagi.

“Pulang dah lu sono.”

“Katanya nggak boleh pulang?”

“Itukan tadi, sekarang beda lagi.”

Calvin senyum aja, ngeliatin jari kelingking mereka yang masih saling bertaut. Nyuruhnya mah pergi tapi jari kelingkingnya makin erat. Gengsinya ngelebihin tinggi badannya.

“Cilornya nggak dimakan, Taa?”

“Nggak.”

“Gapapa deh kamu nggak mau maafin saya, tapi cilornya dimakan dulu ntar kalo dingin nggak enak.”

“Dih ngatur.”

“Apa mau saya suapin.”

“Nggak usah ngimpi lu.”

“Jangan protes mulu, ayo mangap.”

Dion nerima suapan dari Calvin sambil manyun. Rada salting karena tiba-tiba disuapin kayak gini tapi juga masih gengsi buat ngelunak.

“Lu juga makan, gue nggak kuat ngabisin semuanya sendiri.”

“Iya, sayang.”

Lalu keduanya hening.. sampai satu cubitan mendarat di perut Calvin. Salting gara-gara disuapin aja masih, sekarang ditambah dipanggil sayang.

Calvin ketawa liat muka Dion yang mulai merah karena salting, cubitan Dion tadi nggak sakit smaa sekali berasa geli doang.

“Tapi serius deh Taa, saya beneran nggak tau harga cilor itu berapa, kalo tau ya nggak aka beli sebanyak itu.”

“Ya elu kan bisa nanya.”

“Bisa sih, tapi liat muka bapaknya kayak kecapean gitu terus juga udah mau gelap sementara dagangan dia masih banyak jadi ya udah saya beli lima ratus ribu karena takut kamu juga kurang kalo saya belinya dikit, taunya lima ratus ribu tuh bisa ngeborong semua dagangan bapaknya. Bagus deh bapaknya jadi bisa pulang lebih awal iya kan.”

Dion diem ngederin penjelasan Calvin. Kalau beneran kayak gitu, berarti Calvin ya nggak sepenuhnya salah, niatnya juga baik walaupun hasilnya bikin dia kesel.

“Taa? Kenapa diem?”

“Gapapa.”

Calvin ngangguk-ngangguk.

“Lu abis ini ada acara?”

“Ada, kenapa?”

“Penting?”

“Penting sih, so'al kerjaan.”

“Pegi gih sana.”

“Cilornya masih banyak, masih lama nyuapin kamunya jadi ntar aja perginya.”

“Gue bisa makan sendiri.”

Dion ngambil sendok sama seporsi cilor yang lain, yang ada di depan Calvin biar cowok itu aja yang makan.

“Pelan-pelan makannya.”

Calvin senyum ngeliatin Dion yang lucu banget, pipinya ngegembung tapi alisnya mengkerut, nyatu mandang Calvin.

“Apha?”

“Gapapa, lanjutin ngunyah aja dulu terus telen baru deh ngomong.”

Dion nurut ngunyah cilornya sampe abis. Begiyudah ketelen semua dia nanya lagi.

“Mau apa?”

“Mau dimaafin.”

Calvin ngedektin mukanya, lalu natap mata gebetannya sambil senyum, bikin yang ditatap nggak bisa nahan salting.

“Jau jauh lu dari gue!”

“Salting?”

“Gue maafin, udah pulang lu sono.”

Dion ngedorong kakinya Calvin pake kakinya sendiri.

“Iya, iya saya pulang, makasih udah dimaafin.” sahut Calvin sambil berdiri dari duduknya.

Calvin ngusap-ngusap rambut sama pipinya Dion bentar, terus dia buru-buru keluar sebelum digebukin Dion.

Pikirnya.

Padahal maksud Dion mah, jangan cuma di usap-usap, dikecup kening atau pipinya juga gapapa.

Tapi yaudahlah. Kapan-kapan aja.

Pria yang masih berpakaian rapih itu sedang menunggu pesanan di salah satu outlet Subway yang berada di salah satu Mall terbesar di ibu kota. Sementara Dion sedang duduk manis sembari menggeser-menggeser layar ponselnya, ia terkekeh begitu membaca tweet anak pemilik kost tempat tinggalnya yang sedang misuh-misuh. Meng-quote tweet tersebut dengan beberapa huruf karena ia juga merasakan hal yang sama tak lama ia tersenyum kembali karena ternyata Mas Januar justru semakin murka dengan QRT ghaib darinya.

Dion tidak tahu kalau sumber misuh-misuh Januar adalah dirinya.


Begitu sampai di pusat perbelanjaan, kakinya langsung melangkah melewati beberapa outlet makanan dan minuman yang semerbak wanginya memanjakan indra penciumannya dengan Calvin yang aktif mengikutinya di belakang.

“Kamu mau makan apa? Sukiya mau?” tanya nya saat mereka melewati outlet makanan Jepang dengan dominasi warna merah dan kuning menyala. Dion berhenti untuk melihat sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya mencari outlet makanan yang sedang ingin dia makan saat ini. Ia pernah makan beberapa kali, rasanya enak, harganya juga ya lumayan, tapi bukan itu yang sedang ingin ia makan saat ini.

“Nggak.”

Calvin mengangguk, lanjut mengikuti langkah Dion yang sudah sedikit lebih jauh berjalan di depannya.

Dion berbelok ke arah kiri, masuk ke Starbucks untuk mendapatkan kopi pagi harinya yang terlewat hari ini. Ia ingin memesan Green latte with cheese cream yang jelas-jelas tertulis ada di menu, tapi mereka bilang minuman yang ia inginkan itu sold out dan mau tidak mau dia memesan gree tea latte seperti yang biasa ia pesan. Kekesalan Dion semakin menumpuk, kenapa untuk mendapatkan minuman yang dimau saja dia tidak bisa mendapatkannya? Dalam keadaan yang tidak normal seperti ini emosi nya memang lebih gampang tersentuh, bahkan oleh hal-hal kecil seperti ini.

Melihat Dion yang semakin murung membuat Calvin semakin ingin menghiburnya, tapi ia juga bingung harus bagaimana dan melakukan apa supaya senyum berbentuk hati itu bisa terbit lagi di wajah manis Dion. Akhirnya dia hanya mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Januar, sekretaris pribadinya.

Dengan minuman berwarna hijau di tangannya, Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung B untuk mencari outlet makanan yang diinginkan. Pada dasarnya mood nya memang sedang buruk jadi pintu yang hanya berdiri disana tidak melakukan apa-apa pun menjadi korban amarahnya.

“Mall gede dan mewah gini pintunya masih pake yang di dorong manual gini. Ngerepotin orang aja.”

Calvin sempat menganga tak percaya dengan perkataan Dion. Padahal yang mendorong pintunya juga Calvin, Dion hanya memberikan kontribusi dengan satu jarinya untuk mendorong pintu berbahan kaca lebar tersebut. Tak mau ambil pusing ia kembali mengambil ponsel pintarnya dan meminta Januar untuk mengganti pintu tersebut dengan yang otomatis supaya tidak merepotkan.

Ternyata di gedung B juga tidak ada. Akhirnya mereka lanjut berjalan menuju gedung C melewati replika Dinosaurus yang sedang menggerak-gerakan ekornya dengan suara menyeramkan yang membuat Dion kaget sejenak.

“Ini faedah naro nih makhluk segede ini dengan suara menggelegar yang nyeremin tuh apa faedahnya sih?!”

Lagi. Dinosaurus yang tidak berbuat salah pun tetap salah di mata Dion, dan lagi, Calvin menganggu Januar untuk menghilangkan suara Dinosaurus tanpa peduli kalau lelaki itu sedang banyak pekerjaan.


Calvin duduk di hadapannya dengan dua roti dengan isian penuh dan dua gelas minuman.

“Pake roti apa?”

“Italian bread” jawab Calvin bingung, karena ini pertama kalinya ia memesan makanan seperti ini, kalau kata Oma nya sih makanan sampah.

“Isiannya?”

“Chicken teriyaki”

Dion mengangguk. Membuka kertas pembungkusnya lebih dulu sebelum memasukkan ke dalam mulut dengan satu gigitan penuh. Rasanya sangat susah untuk ia telan, sepertinya Calvin mencampur semua jenis salad yang ada, ia juga merasakan Chili sauce yang rasanya justru dominan ke wasabi di mulutnya. Timunnya juga terasa pahit, sepahit harinya hari ini. Ingin ia memarahi Calvin tapi ia urungkan, lelaki itu rela menemaninya tanpa banyak bertanya kenapa setelah tau dia tidak ingin menceritakan apa yang dialaminya. Calvin diam saja, hanya menemaninya dan terus berada di sisinya. Rasanya Dion tidak sejahat itu untuk berbuat kurang ajar pada orang baik yang berusaha membantunya. Lagian ini juga salahnya sewaktu Calvin tanya mau pesan apa dia malah menjawab 'terserah.'

“Lu baru kali ini makan atau pesen di Subway ya?”

Calvin mengangguk, tidak bisa menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan yang rasanya jauh lebih dari kata enak bagi mulutnya. Oma nya ternyata benar.

“Nih gue kasih tips, kalo lu mau yang simple cheap but good, lu bisa order sweet honey chicken. Rotinya pake honey oat, isiannya chicken slice, tanpa cucumber, extra olive and pickles, terus sausnya pake honey mustard sama sweet onion.”

Calvin mengangguk dan mencatat baik-baik tips yang diberikan Dion di dalam memorinya. Dion kembali melanjutkan tipsnya setelah meneguk pepsi dari gelasnya.

“Atau nih ya kalo lu lagi pengen yang protein blast, lu bisa pesen parmesan oregano, teriyaki chicken double portion double cheese, extra onion and olives, sausnya onion and chipotle. Rasanya nggak akan kaya gini.”

Lelaki yang lebih tinggi menggaruk tengkuknya, menyebabkan sudut bibir Dion sedikit terangkat karenanya.

“Abis ini nonton mau nggak?”

“Lu emang ada film yang mau di tonton?”

“Nggak ada sih, cuma kalo hari Senin dan jam kerja gini kan enak satu cinema bisa kita berdua doang.”

“Ih anjir berasa orang kaya yang ngebooking satu cinema ya, hahaha. Kuy lah nonton.”

Padahal bukan itu yang maksud Calvin. Yang di maksud Calvin benar-benar pure supaya berduaan doang, mau Dion nanti nangis, ketawa, misuh di dalam sana juga bebas. Kalau masalah menyewa satu cinema saja bukan hal susah bagi seorang Calvin Mahendra, tidak usah menunggu weekdays dan jam kerja untuk bisa menikmati satu cinema berdua.

Belum ada setengah jam dari diputarnya film pada layar lebar di depan mereka, Calvin sudah tidak mendengar lagi suara kunyahan popcorn dari Dion yang duduk di sebelahnya. Dugaannya ternyata benar, lelaki itu tertidur dengan popcorn yang masih berada di mulutnya. Bukan salah Dion kalau dia ketiduran, sebelum nonton dia sudah kenyang, ruangan gelap dan ber-AC sangat mengundang kantuknya untuk datang. Pada akhirnya film yang ada di depan sana tidak ada yang menonton karena satu-satunya pasang mata yang berada dalam cinema justru sibuk menangkap bayangan Ardion yang sedang tertidur lelap. Sesekali Calvin tersenyum saat mendapati Dion yang mengunyah popcorn yang tertinggal di dalam mulutnya dengan mata terpejam.

“Bisa-bisanya ya kamu tidur sambil makan.”

Senyumnya semakin lebar dengan ibu jari yang sibuk membersihkan beberapa garam halus yang menempel pada sudut bibir lelaki yang lucu dan menggemaskan bernama Ardion Dirgantara.

Pria yang masih berpakaian rapih itu sedang menunggu pesanan di salah satu outlet Subway yang berada di salah satu Mall terbesar di ibu kota. Sementara Dion sedang duduk manis sembari menggeser-menggeser layar ponselnya, ia terkekeh begitu membaca tweet anak pemilik kost tempat tinggalnya yang sedang misuh-misuh. Meng-quote tweet tersebut dengan beberapa huruf karena ia juga merasakan hal yang sama tak lama ia tersenyum kembali karena ternyata Mas Januar justru semakin murka dengan QRT ghaib darinya.

Dion tidak tahu kalau sumber misuh-misuh Januar adalah dirinya.


Begitu sampai di pusat perbelanjaan, kakinya langsung melangkah melewati beberapa outlet makanan dan minuman yang semerbak wanginya memanjakan indra penciumannya dengan Calvin yang aktif mengikutinya di belakang.

“Kamu mau makan apa? Sukiya mau?” tanya nya saat mereka melewati outlet makanan Jepang dengan dominasi warna merah dan kuning menyala. Dion berhenti untuk melihat sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya mencari outlet makanan yang sedang ingin dia makan saat ini. Ia pernah makan beberapa kali, rasanya enak, harganya juga ya lumayan, tapi bukan itu yang sedang ingin ia makan saat ini.

“Nggak.”

Calvin mengangguk, lanjut mengikuti langkah Dion yang sudah sedikit lebih jauh berjalan di depannya.

Dion berbelok ke arah kiri, masuk ke Starbucks untuk mendapatkan kopi pagi harinya yang terlewat hari ini. Ia ingin memesan Green latte with cheese cream yang jelas-jelas tertulis ada di menu, tapi mereka bilang minuman yang ia inginkan itu sold out dan mau tidak mau dia memesan gree tea latte seperti yang biasa ia pesan. Kekesalan Dion semakin menumpuk, kenapa untuk mendapatkan minuman yang dimau saja dia tidak bisa mendapatkannya? Dalam keadaan yang tidak normal seperti ini emosi nya memang lebih gampang tersentuh, bahkan oleh hal-hal kecil seperti ini.

Melihat Dion yang semakin murung membuat Calvin semakin ingin menghiburnya, tapi ia juga bingung harus bagaimana dan melakukan apa supaya senyum berbentuk hati itu bisa terbit lagi di wajah manis Dion. Akhirnya dia hanya mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Januar, sekretaris pribadinya.

Dengan minuman berwarna hijau di tangannya, Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung B untuk mencari outlet makanan yang diinginkan. Pada dasarnya mood nya memang sedang buruk jadi pintu yang hanya berdiri disana tidak melakukan apa-apa pun menjadi korban amarahnya.

“Mall gede dan mewah gini pintunya masih pake yang di dorong manual gini. Ngerepotin orang aja.”

Calvin sempat menganga tak percaya dengan perkataan Dion. Padahal yang mendorong pintunya juga Calvin, Dion hanya memberikan satu jarinya untuk mendorong pintu berbahan kaca lebar tersebut. Tak mau ambil pusing ia kembali mengambil ponsel pintarnya dan meminta Januar untuk mengganti pintu tersebut dengan yang otomatis supaya tidak merepotkan.

Ternyata di gedung B juga tidak ada. Akhirnya mereka lanjut berjalan menuju gedung C melewati Dinosaurus yang sedang menggerak-gerakan ekornya dengan suara menyeramkan yang membuat Dion kaget sejenak.

“Ini faedah naro nih makhluk segede ini dengan suara menggelegar yang nyeremin tuh apa faedahnya sih?!”

Lagi. Dinosaurus yang tidak berbuat salah pun tetap salah di mata Dion, dan lagi, Calvin menganggu Januar untuk menghilangkan suara Dinosaurus tanpa peduli kalau lelaki itu sedang banyak pekerjaan.

Calvin duduk di hadapannya dengan dua roti dengan isian penuh dan dua gelas minuman.

“Pake roti apa?”

“Italian bread” jawab Calvin bingung, karena ini pertama kalinya ia memesan makanan seperti ini, kalau kata Oma nya sih makanan sampah.

“Isiannya?”

“Chicken teriyaki”

Dion mengangguk. Membuka kertas pembungkusnya lebih dulu sebelum memasukkan ke dalam mulut dengan satu gigitan penuh. Rasanya sangat susah untuk ia telan, sepertinya Calvin mencampur semua jenis salad yang ada, ia juga merasakan Chili sauce yang rasanya justru dominan ke wasabi di mulutnya. Timunnya juga terasa pahit, sepahit harinya hari ini. Ingin ia memarahi Calvin tapi ia urungkan, lelaki itu rela menemaninya tanpa banyak bertanya kenapa setelah tau dia tidak ingin menceritakan apa yang dialaminya. Calvin diam saja, hanya menemaninya dan terus berada di sisinya. Rasanya Dion tidak sejahat itu untuk berbuat kurang ajar pada orang baik yang berusaha membantunya. Lagian ini juga salahnya sewaktu Calvin tanya mau pesan apa dia malah menjawab 'terserah.'

“Lu baru kali ini makan atau pesen di Subway ya?”

Calvin mengangguk, tidak bisa menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan yang rasanya jauh lebih dari kata enak bagi mulutnya. Oma nya ternyata benar.

“Nih gue kasih tips, kalo lu mau yang simple cheap but good, lu bisa order sweet honey chicken. Rotinya pake honey oat, isiannya chicken slice, tanpa cucumber, extra olive and pickles, terus sausnya pake honey mustard sama sweet onion.”

Calvin mengangguk dan mencatat baik-baik tips yang diberikan Dion di dalam memorinya. Dion kembali melanjutkan tipsnya setelah meneguk pepsi dari gelasnya.

“Atau nih ya kalo lu lagi pengen yang protein blast, lu bisa pesen parmesan oregano, teriyaki chicken double portion double cheese, extra onion and olives, sausnya onion and chipotle. Rasanya nggak akan kaya gini.”

Lelaki yang lebih tinggi menggaruk tengkuknya, menyebabkan sudut bibir Dion sedikit terangkat karenanya.

“Abis ini nonton mau nggak?”

“Lu emang ada film yang mau di tonton?”

“Nggak ada sih, cuma kalo hari Senin dan jam kerja gini kan enak satu cinema bisa kita berdua doang.”

“Ih anjir berasa orang kaya yang ngebooking satu cinema ya, hahaha. Kuy lah nonton.”

Padahal bukan itu yang maksud Calvin. Yang di maksud Calvin benar-benar pure supaya berduaan doang, mau Dion nanti nangis, ketawa, misuh di dalam sana juga bebas. Kalau masalah menyewa satu cinema saja bukan hal susah bagi seorang Calvin Mahendra, tidak usah menunggu weekdays dan jam kerja untuk bisa menikmati satu cinema berdua.

Belum ada setengah jam dari diputarnya film pada layar lebar di depan mereka, Calvin sudah tidak mendengar lagi suara kunyahan popcorn dari Dion yang duduk di sebelahnya. Dugaannya ternyata benar, lelaki itu tertidur dengan popcorn yang masih berada di mulutnya. Bukan salah Dion kalau dia ketiduran, sebelum nonton dia sudah kenyang, ruangan gelap dan ber-AC sangat mengundang kantuknya untuk datang. Pada akhirnya film yang ada di depan sana tidak ada yang menonton karena satu-satunya pasang mata yang berada dalam cinema justru sibuk menangkap bayangan Ardion yang sedang tertidur lelap. Sesekali Calvin tersenyum saat mendapati Dion yang mengunyah popcorn yang tertinggal di dalam mulutnya dengan mata terpejam.

“Bisa-bisanya ya kamu tidur sambil makan.”

Senyumnya semakin lebar dengan ibu jari yang sibuk membersihkan beberapa garam halus yang menempel pada sudut bibir lelaki yang lucu dan menggemaskan bernama Ardion Dirgantara.

Sebenarnya Dion tahu banyak Cafe atau tempat ngopi yang hits dengan interior menarik dan suasana cozy di sekitaran Jakarta, karena Bima sering mengajaknya pergi kesana. Tapi untuk saat ini ia tidak ingin membawa partner ngopinya ke tempat yang terlalu cozy karena nanti akan membuatnya nyaman dan memakan waktu lama. Tujuannya kali ini hanya mengajak Calvin ngopi, ngobrol bentar, pulang terus dia bakal ngeblock nomornya.

Alhasil dia memberitahukan Calvin untuk bertemu di Starbucks yang ada di lantai 1 tempat kerjanya. Dion harap Calvin berdandan normal seperti waktu itu dan semoga tidak ada rekan kerja yang memergokinya sedang berduaan dengan Calvin karena menjadi bahan gosip di tempat kerja adalah hal yang menyebalkan.

Disinilah mereka sekarang, di Starbucks dengan dua cup ice Americano dan satu slice cake di hadapan mereka yang Dion belikan untuk Calvin karena rasanya kurang sopan kalau hanya membelikan kopi saja.

Calvin meminum kopinya terlebih dulu, sebelum bertanya kenapa Dion hanya membeli cake untuknya.

“Cake nya kenapa cuma beli satu?”

“Kurang? Gue bisa orderin lagi”

“Maksud perkataan saya bukan itu, tapi kenapa kamu nggak beli buat kamu sendiri juga.”

“Nggak suka cake.”

“Kenapa?”

“Manis dan teksturnya lembek-lembek aneh, pokoknya nggak suka aja.”

Calvin mengangguk, “wajar sih kamu nggak suka yang manis-manis kan kamu udah manis, banget malahan.”

Dion diam tidak menimpali, rasanya dia ingin muntah mendengar perkataan Calvin barusan.

Mereka duduk di meja outdoor, sengaja karena ada misi yang ingin Dion lancarkan. Membuat si kuproy ilfeel padanya.

“Lu, ngerokok nggak?” tanya Dion, dengan mengeluarkan sekotak rokok dari kantong celananya. Rokoknya sudah tidak tersegel karena tadi dia asal mengambil punya teman kerjanya yang lagi pada sebat bareng selepas istirahat makan siang.

Lelaki yang menurut Calvin mempunyai senyum sangat itu membuka rokoknya dan mengambilnya sebatang.

Tak bisa dipungkiri Calvin cukup terkejut saat lelaki manis di hadapannya mengeluarkan sekotak rokok. Ia menatap sekotak rokok yang diarahkan padanya.

YESSSS DIA PASTI ILFEEL

“Saya nggak ngerokok” jawab Calvin

“Gue sebat dulu kalo gitu” Dion berdiri dari duduknya, berniat mencari spot untuk merokok tapi Calvin langsung menahannya.

“Mau kemana? Nyebar disini aja, mana koreknya biar saya bakarin.”

Dion melihat wajah Calvin yang berubah menjadi serius, tidak ada lagi senyum ramah seperti beberapa saat lalu.

“Gila lu, ya kali gue nyebat di depan orang yang nggak ngerokok.”

“Kan saya nya nggak masalah jadi nggak apa-apa”

Duh, kok jadi gini sih. Jujur saja Dion mulai merasa takut dengan perubahan raut wajah Calvin, tapi ia harus tetap menjalankan misinya. Lagian udah terlanjur juga jadi ya udah lanjut aja.

“Duduk lagi, sebat sini aja nggak usah jauh-jauh” tambah Calvin.

Karena suasana menjadi serius Dion akhirnya kembali duduk.

“Mana koreknya?”

Dion menghela napas. Shit. Dirinya lupa.

“Lupa.”

“Kok perokok nggak bawa korek?”

Dion diam tidak menjawab

“Mau saya carikan?”

“Nggak usah.”

Untuk beberapa saat mereka terdiam, dengan sebatang rokok yang terjepit di antara jari Dion bingung harus berbuat apa.

Perlahan Calvin senyum, “Ta, kamu tuh nggak ngerokok saya tahu.”

“Ngerokok kok!” jawab Dion tidak terima

“Mana ada anak muda ngerokok kretek” Calvin mengangkat bungkus rokok yang dibawa Dion, “ini mah rokoknya bapak-bapak temen kerja saya”

Dion menghela nafas.

Sialan si kuproy tau aja lagi kalo itu bukan rokok gue.

“Gue emang bukan perokok berat tapi gue beneran ngerokok.”

Calvin mengangguk paham, “ngerokok kalo lagi ada masalah doang ya?”

Kali ini giliran Dion yang mengangguk.

Calvin mengambil sebungkus rokok yang tergelatak diatas aja, “maaf ya rokoknya saya sita.” Cengir Calvin, “sebagai gantinya mulai sekarang kalau kamu ada masalah bisa cari saya, jangan cari rokok.”

Lah kok jadi gini sih? Harusnya kan Calvin ilfeel padanya bukan malah menawarkan hal seperti ini.

“Ta?” panggil Calvin pada Dion yang menunduk.

Dion mengangkat wajahnya “Ya?”

“Kamu denger nggak apa yang saya bilang tadi?”

“Denger.”

Calvin tersenyum, “ya udah kita pulang aja, kamu juga harus lanjut kerja kan?”

Dion mengangguk, sebenernya dia jadi nggak enak sama Calvin karena membuat suasana yang serius begini tapi ini juga bagian dari rencana kan?

“Mau saya anter sampe ke counter kamu?”

“Nggak usah, gue bisa sendiri lu langsung pulang aja.”

“Oke, nanti kalau udah sampe saya kabarin.”

“Oke.”

Gagal lagi.

Sebenarnya Dion tahu banyak Cafe atau tempat ngopi yang hits dengan interior menarik dan suasana cozy di sekitaran Jakarta, karena Bima sering mengajaknya pergi kesana. Tapi untuk saat ini ia tidak ingin membawa partner ngopinya ke tempat yang terlalu cozy karena nanti akan membuatnya nyaman dan memakan waktu lama. Tujuannya kali ini hanya mengajak Calvin ngopi, ngobrol bentar, pulang terus dia bakal ngeblock nomornya.

Alhasil dia memberitahukan Calvin untuk bertemu di Starbucks yang ada di lantai 1 tempat kerjanya. Dion harap Calvin berdandan normal seperti waktu itu dan semoga tidak ada rekan kerja yang memergokinya sedang berduaan dengan Calvin karena menjadi bahan gosip di tempat kerja adalah hal yang menyebalkan.

Disinilah mereka sekarang, di Starbucks dengan dua cup ice Americano dan satu slice cake di hadapan mereka yang Dion belikan untuk Calvin karena rasanya kurang sopan kalau hanya membelikan kopi saja.

Calvin meminum kopinya terlebih dulu, sebelum bertanya kenapa Dion hanya membeli cake untuknya.

“Cake nya kenapa cuma beli satu?”

“Kurang? Gue bisa orderin lagi”

“Maksud perkataan saya bukan itu, tapi kenapa kamu nggak beli buat kamu sendiri juga.”

“Nggak suka cake.”

“Kenapa?”

“Manis dan teksturnya lembek-lembek aneh, pokoknya nggak suka aja.”

Calvin mengangguk, “wajar sih kamu nggak suka yang manis-manis kan kamu udah manis, banget malahan.”

Dion diam tidak menimpali, rasanya dia ingin muntah mendengar perkataan Calvin barusan.

Mereka duduk di meja outdoor, sengaja karena ada misi yang ingin Dion lancarkan. Membuat si kuproy ilfeel padanya.

“Lu, ngerokok nggak?” tanya Dion, dengan mengeluarkan sekotak rokok dari kantong celananya. Rokoknya sudah tidak tersegel karena tadi dia asal mengambil punya teman kerjanya yang lagi pada sebat bareng selepas istirahat makan siang.

Lelaki yang menurut Calvin mempunyai senyum sangat itu membuka rokoknya dan mengambilnya sebatang.

Tak bisa dipungkiri Calvin cukup terkejut saat lelaki manis di hadapannya mengeluarkan sekotak rokok. Ia menatap sekotak rokok yang diarahkan padanya.

YESSSS DIA PASTI ILFEEL

“Saya nggak ngerokok” jawab Calvin

“Gue sebat dulu kalo gitu” Dion berdiri dari duduknya, berniat mencari spot untuk merokok tapi Calvin langsung menahannya.

“Mau kemana? Nyebar disini aja, mana koreknya biar saya bakarin.”

Dion melihat wajah Calvin yang berubah menjadi serius, tidak ada lagi senyum ramah seperti beberapa saat lalu.

“Gila lu, ya kali gue nyebat di depan orang yang nggak ngerokok.”

“Kan saya nya nggak masalah jadi nggak apa-apa”

Duh, kok jadi gini sih. Jujur saja Dion mulai merasa takut dengan perubahan raut wajah Calvin, tapi ia harus tetap menjalankan misinya. Lagian udah terlanjur juga jadi ya udah lanjut aja.

“Duduk lagi, sebat sini aja nggak usah jauh-jauh” tambah Calvin.

Karena suasana menjadi serius Dion akhirnya kembali duduk.

“Mana koreknya?”

Dion menghela napas. Shit. Dirinya lupa.

“Lupa.”

“Kok perokok nggak bawa korek?”

Dion diam tidak menjawab

“Mau saya carikan?”

“Nggak usah.”

Untuk beberapa saat mereka terdiam, dengan sebatang rokok yang terjepit di antara jari Dion bingung harus berbuat apa.

Perlahan Calvin senyum, “Ta, kamu tuh nggak ngerokok saya tahu.”

“Ngerokok kok!” jawab Dion tidak terima

“Mana ada anak muda ngerokok kretek” Calvin mengangkat bungkus rokok yang dibawa Dion, “ini mah rokoknya bapak-bapak temen kerja saya”

Dion menghela nafas.

Sialan si kuproy tau aja lagi kalo itu bukan rokok gue.

“Gue emang bukan perokok berat tapi gue beneran ngerokok.”

Calvin mengangguk paham, “ngerokok kalo lagi ada masalah doang ya?”

Kali ini giliran Dion yang mengangguk.

Calvin mengambil sebungkus rokok yang tergelatak diatas aja, “maaf ya rokoknya saya sita.” Cengir Calvin, “sebagai gantinya mulai sekarang kalau kamu ada masalah bisa cari saya, jangan cari rokok.”

Lah kok jadi gini sih? Harusnya kan Calvin ilfeel padanya bukan malah menawarkan hal seperti ini.

“Ta?” panggil Calvin pada Dion yang menunduk.

Dion mengangkat wajahnya “Ya?”

“Kamu denger nggak apa yang saya bilang tadi?”

“Denger.”

Calvin tersenyum, “ya udah kita pulang aja, kamu juga harus lanjut kerja kan?”

Dion mengangguk, sebenernya dia jadi nggak enak sama Calvin karena membuat suasana yang serius begini tapi ini juga bagian dari rencana kan?

“Mau saya anter sampe ke counter kamu?”

“Nggak usah, gue bisa sendiri lu langsung pulang aja.”

“Oke, nanti kalau udah sampe saya kabarin.”

“Oke.”

Gagal lagi.

Semakin hari keadaan Kyungsoo semakin memburuk tidak lagi ada suara yang pernah Baekhyun dengar setiap kali ia datang menjenguk, tidak lagi terlihat wajah ceria Kyungsoo yang berusaha menghiburnya dan membuat suasana membaik, tidak lagi ada tangan yang dengan gemas menampol bahunya jika ia sedang bertingkah menyebalkan.

Hanya ada Kyungsoo.

Dengan tubuh kurus dan kulit yang semakin memucat, yang harus bernafas dengan bantuan oxygen, matanya yang indah dengan binar yang memantulkan cahaya kini hanya terus menutup. Waktu tidur semakin lama setiap harinya.

Baekhyun memandang toples kaca yang berisi kumpulan kelopak-kelopak bunga yang dikumpulkan oleh Kyungsoo setiap kali ia batuk, warna bunga putih dengan sedikit merah muda. Bunga yang telah Kyungsoo kumpulkan sejak lima bulan yang lalu dimana pertamakali Kyungsoo mengalami desease ini. Awalnya hanya batuk-batuk kecil namun setelah satu minggu dadanya mulai terasa sesak dan terasa panas seakan sesuatu didalamnya terbakar. Lalu melewati minggu ketiga kelopak-kelopak bunga kecil mulai ikut muncul bersama batuknya.

“Soo, gue pulang dulu ya, ambil baju ganti bentar.”

Ada satu hal yang Baekhyun tidak tahu yang tidak bisa Kyungsoo ceritakan, desease-nya tidak serta merta muncul begitu saja tanpa penyebab, bukan hanya karena 'Cinta-nya' yang memang selama ini ia pendam dan ia jaga.

Disaat pertemuan dengan kawan sekolahnya beberapa waktu lalu Kyungsoo saat itu kembali ke tempat acara untuk mengambil barangnya yang tertinggal dan ia bertemu dengan Chanyeol dalam keadaan mabuk. Sendirian meracau di tepi jalan yang mulai sepi, dengan susah payah Kyungsoo berusaha untuk mengantar Chanyeol, namun ia tak mungkin membawa pria itu pulang ke kediaman keluarganya dalam keadaan mabuk seperti ini.

Hingga akhirnya Kyungsoo memutuskan untuk membawa Chanyeol masuk ke dalam mobilnya terlebih dulu, lalu ia menghubungi pacar lelaki tersebut. Di mana perempuan di seberang sana mengatakan untuk mengantar Chanyeol ke apartemennya saja dan di iyakan oleh Kyungsoo.

Tidak ada kejadian apapun juga dimalam itu, selain Kyungsoo yang terbawa nafsunya untuk memberikan sebuah ciuman saat memasangkan sabuk pengaman pada Chanyeol yang sudah tidak sadarkan diri. Rasanya kenyal, lembut dan manis persis seperti apa yang ada dipikirannya, melumatnya perlahan berharap sang pemilik tidak terganggu dengan apa yang dilakukannya.

Sejak malam itu Kyungsoo yang dulu hanya berniat akan menyimpan rapat-rapat perasannya dan bersiap untuk menyerah kembali merasakan dadanya berdegup gemuruh seperti pertama kali ia rasakan dulu.


“DOKTER!!! TOLONG! SOO! KYUNGSOO BANGUUNN!!! KUMOHON JANGAN TINGGALKAN AKU SEPERTI INI SOO! Hiks.. kumohon.. “

“DOKTER CEPAT!”

Ruang kecil bernuansa putih itu begitu sibuk dengan beberapa perawat juga dokter yang sibuk dengan peralatannya, suara bising dari peralatan medis berdenging. Baekhyun menangis pilu mengatupkan tangan sambil terus memanjatkan doa, ruang yang tertutup rapat dengan paramedis yang tengah berjuang melawan kehendak Tuhan demi sebuah kehidupan.

BRAK!!

Baekhyun yang tengah menanti didepan ruang menoleh melihat seseorang yang datang dengan terburu, penampilannya yang kacau juga peluh yang membasahi pelipisnya. Wajahnya pucat bercampur panik dengan ritme nafas yang berantakan.

Baekhyun mencoba membantu Chanyeol untuk berdiri, dengan kedua kaki yang terlampau lemah Chanyeol menopang diri berlari menuju pintu dengan nekad menerobos masuk kedalam ruang dengan paramedis yang masih sibuk memacu jantung.

Lemas.

Begitu ia melihat sosok yang terbaring disana telah melepas alat bantunya untuk hidup, serta denging alat pacu jantung yang melintang lurus.

“KYUNGSOO!!!”

Tidak ada satu detikpun terlewat dengan nafas ini yang selalu membawa namamu Jika bunga tidak memiliki pemilik Jika bunga ini hanya tumbuh liar Ia tetaplah bunga, bunga indah Sampai kapanpun ia akan tetap mekar dengan indah Layaknya dirimu, begitu indah Hanya bahkan jika menyebut namamu.

Baekhyun mengusap lelehan air matanya, lalu ia berbalik menatap Chanyeol yang sama terpuruknya dengannya, mungkin sebagai belahan hati sahabatnya ia merasakan kehancuran yang sama, atau bahkan lebih.

Berjalan mendekati Chanyeol masih dengan kepala yang tertunduk teremenung, duduk di hadapannya dan menepuk bahu pria itu pelan.

Perlahan Chanyeol mengangkat wajahnya menatap Baekhyun yang tersenyum kecil, menyodorkan toples berisi serpihan bunga yang Kyungsoo kumpulkan.

“Maafkan aku yang terlambat memberi tahumu.”

Tangannya bergetar menerima toples itu. Serpihan bunga Sakura.

“Kyungsoo mengumpulkan itu semua dari awal, bahkan iya tidak berniat membuang sehelai kelopak bunga pun... sedikitpun ia tidak pernah berniat untuk membuang perasaannya meski seberusaha apapun aku membujuknya untuk menjalani operasi. Ia tidak ingin membuang sedikitpun perasaannya padamu.”

Chanyeol tidak bisa berkata-kata ia hanya menunduk semakin dalam tangisnya, kenapa ia begitu bodoh, kenapa ia tidak menyadarinya? Dan banyak kenapa, kenapa lainnya yang kini berputar di kepalanya.

Ia memegang tangan dingin Kyungsoo, “you are my flower, you are my spring, aku tahu aku sangat terlambat tapi mulai detik ini bisa ku pastikan setiap detak dan hembus nafasku hanya untukmu, my flower... Please wake up.”

Bunga Sakura memiliki makna sebagai janji yang ditepati karena seakan-akan bunga ini selalu mengatakan akan datang kembali setiap musimnya. Bisa dikatakan juga sebagai sebuah siklus kehidupan memiliki makna dimana ada kebahagiaan akan diakhiri dengan kesedihan, di mana ada kelahiran akan diakhiri dengan kematian. Hal ini selaras dengan hidup ini yang singkat namun indah.

Hanahaki desease adalah sebuah penyakit fiksi dimana pengidapnya akan tumbuh bunga diparu-parunya yang kian lama kian mekar, hingga membuat batuk mengeluarkan kelopak- kelopak bunga. Penyakit seseorang dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan atau cinta sepihak. Setiap bunga yang tumbuh berbeda pada setiap orang berdasarkan rasa cinta di penderita, tiap bunga pasti memiliki makna yang indah sendirinya. Tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakit ini selain melalui operasi pengangkatan akar dari dalam tubuh dengan resiko semua perasaan yang si penderita miliki untuk orang yang ia cintai menghilang dan ia tak akan lagi bisa merasakan rasa cinta untuk orang tersebut. Lainnya, penderita akan mati membawa perasaannya jika orang yg disukai tidak bisa membalas perasaannya. Hanya keajaiban jika mereka saling membalas cinta maka tunas bunga di dalam paru-paru akan menciut dan menghilang.

🌸🌸🌸END🌸🌸🌸

Aku bukannya tidak ingin mengangkat panggilan telfon darimu, aku merasakan setiap getar suara yang aku timbulkan seperti tertusuk jarum. Sakit. Asal kamu tahu saja Yeol, untuk membalas pesanmu saja aku mengerahkan seluruh energi yang ku punya, dan ku rasa aku sudah tidak punya waktu untuk bermain denganmu lagi nanti nya. Teruslah sehat dan bahagia Park Chanyeolku.

Merasa kecewa, kesal dan sedih begitu ia tahu pria yang sudah dianggap seperti adiknya itu membatalkan jadwal operasi yang sudah disiapkan jauh hari, entah apa yang dipikirkannya hingga nekad melakukan hal seperti ini, tidak tahukah ia bahwa ia tak ingin kehilangan sosok adik untuknya. Sesama orang yang hidup dan tumbuh sendiri tanpa bimbingan orang tua, tanpa mengetahui sosok orang tua, mereka bergantung satu sama lain bagai nafas.

Kini sang adik memilih untuk egois pergi, tidak tahu lagi ia harus bergantung untuk bernafas bagaimana.

Baekhyun menahan tangisnya sebelum masuk kedalam ruangan dimana sang adik yang terbaring semakin lemah bahkan sudah tidak lagi sanggup untuk membalas kata-katanya.

Baekhyun tahu, tahu betul bahwa Kyungsoo ingin menjalani operasi untuk mengangkat bunga yang menghimpit rongga dadanya. Baekhyun sangat paham bagaimana perasaan Kyungsoo tidak ingin kehilangan rasa yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun meski rasa itu tidak pernah ada yang membalas, layaknya bunga yang tumbuh liar tanpa pemilik, tanpa ada yang mengurus bunga yang seharusnya tumbuh indah kini hanya tumbuh sebagai tumbuhan berduri yang melukai.

Ia sudah menerima jika dulu Kyungsoo tidak ingin melakukan operasi, namun ia juga egois dengan terus memaksanya hingga Kyungsoo setuju, tapi sekarang ia merubah pikirannya lagi.

Jika kau memang ingin tetap merawatnya maka biarkan pemiliknya tahu kalau bunga itu miliknya, biarkan dia tahu bahwa ada bunga liar yang tumbuh seindah ini untuknya.

Aku bukannya tidak ingin mengangkat panggilan telfon darimu, aku merasakan setiap getar suara yang aku timbulkan seperti tertusuk jarum. Sakit. Asal kamu tahu saja Yeol, untuk membalas pesanmu saja aku mengerahkan seluruh energi yang ku punya, dan ku rasa aku sudah tidak punya waktu untuk bermain denganmu lagi nanti nya. Teruslah sehat dan bahagia Park Chanyeolku.

Merasa kecewa, kesal dan sedih begitu ia tahu pria yang sudah dianggap seperti adiknya itu membatalkan jadwal operasi yang sudah disiapkan jauh hari, entah apa yang dipikirkannya hingga nekad melakukan hal seperti ini, tidak tahukah ia bahwa ia tak ingin kehilangan sosok adik untuknya. Sesama orang yang hidup dan tumbuh sendiri tanpa bimbingan orang tua, tanpa mengetahui sosok orang tua, mereka bergantung satu sama lain bagai nafas.

Kini sang adik memilih untuk egois pergi, tidak tahu lagi ia harus bergantung untuk bernafas bagaimana.

Baekhyun menahan tangisnya sebelum masuk kedalam ruangan dimana sang adik yang terbaring semakin lemah bahkan sudah tidak lagi sanggup untuk membalas kata-katanya.

Baekhyun tahu, tahu betul bahwa Kyungsoo ingin menjalani operasi untuk mengangkat bunga yang menghimpit rongga dadanya. Baekhyun sangat paham bagaimana perasaan Kyungsoo tidak ingin kehilangan rasa yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun meski rasa itu tidak pernah ada yang membalas, layaknya bunga yang tumbuh liar tanpa pemilik, tanpa ada yang mengurus bunga yang seharusnya tumbuh indah kini hanya tumbuh sebagai tumbuhan berduri yang melukai.

Ia sudah menerima jika dulu Kyungsoo tidak ingin melakukan operasi, namun ia juga egois dengan terus memaksanya hingga Kyungsoo setuju, tapi sekarang ia merubah pikirannya lagi.

Jika kau memang ingin tetap merawatnya maka biarkan pemiliknya tahu kalau bunga itu miliknya, biarkan dia tahu bahwa ada bunga liar yang tumbuh seindah ini untuknya.

Aku bukannya tidak ingin mengangkat panggilan telfon darimu, aku merasakan setiap getar suara yang aku timbulkan seperti tertusuk jarum. Sakit. Asal kamu tahu saja Yeol, untuk membalas pesanmu saja aku mengerahkan seluruh energi yang ku punya, dan ku rasa aku sudah tidak punya waktu untuk bermain denganmu lagi nanti nya. Teruslah sehat dan bahagia Park Chanyeolku.

Merasa kecewa, kesal dan sedih begitu ia tahu pria yang sudah dianggap seperti adiknya itu membatalkan jadwal operasi yang sudah disiapkan jauh hari, entah apa yang dipikirkannya hingga nekad melakukan hal seperti ini, tidak tahukah ia bahwa ia tak ingin kehilangan sosok adik untuknya. Sesama orang yang hidup dan tumbuh sendiri tanpa bimbingan orang tua, tanpa mengetahui sosok orang tua, mereka bergantung satu sama lain bagai nafas.

Kini sang adik memilih untuk egois pergi, tidak tahu lagi ia harus bergantung untuk bernafas bagaimana.

Baekhyun menahan tangisnya sebelum masuk kedalam ruangan dimana sang adik yang terbaring semakin lemah bahkan sudah tidak lagi sanggup untuk membalas kata-katanya.

Baekhyun tahu, tahu betul bahwa Kyungsoo ingin menjalani operasi untuk mengangkat bunga yang menghimpit rongga dadanya. Baekhyun sangat paham bagaimana perasaan Kyungsoo tidak ingin kehilangan rasa yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun meski rasa itu tidak pernah ada yang membalas, layaknya bunga yang tumbuh liar tanpa pemilik, tanpa ada yang mengurus bunga yang seharusnya tumbuh indah kini hanya tumbuh sebagai tumbuhan berduri yang melukai.

Ia sudah menerima jika dulu Kyungsoo tidak ingin melakukan operasi, namun ia juga egois dengan terus memaksanya hingga Kyungsoo setuju, tapi sekarang ia merubah pikirannya lagi.

Jika kau memang ingin tetap merawatnya maka biarkan pemiliknya tahu kalau bunga itu miliknya, biarkan dia tahu bahwa ada bunga liar yang tumbuh seindah ini untuknya.