Lovelikecyks

Jum'at pagi memang biasanya memang digunakan oleh keluarga Mahendra untuk sekedar ngumpul minum teh dan menghabiska waktu bersama di taman belakang rumah. Hal tersebut merupakan kewajiban. Oma ingin tahu aktivitas apa saja yang dilakukan para anak, cucu dan menantunya selama semingguan terakhir.

Jujur saja Calvin sudah muak dan ingin mengajar wajah Jade yang menurutnya sangat menyebalkan, tapi dia sedang menunggu waktu yang tepat supaya semua berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Memberikan sedikit pelajaran pada sepupunya yang kurang ajar.

Cucu bungsu Mahendra group sedang menceritakan tentang project barunya yang digadang-gadang akan sukses besar, juga menceritakan kisah cintanya dengan putri tunggal Wisesa yang sebentar lagi akan terikat dalam sebuah janji suci. Dan jika itu semua terjadi, sudah jelas keuntungan apa yang akan di dapatkan oleh Jade nantinya.

Namun ceritanya harus terinterupsi oleh panggilan masuk dari wanita yang dibanggakan di depan semua keluarga beberapa saat lalu.

Kini giliran Calvin yang menceritakan tentang harinya semingguan ini, tapi dia hanya menceritakan tentang pekerjaan tidak menyinggung permasalahan seminggu kemarin yang membuatnya pusing.

Calvin ijin untuk pergi ke toilet sebentar, padahal ia ingin memantau Jade dan tiba-tiba kerah kemejanya ditarik begitu sajad dari belakang, yang Calvin sudah tahu pasti siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Jade.

Lelaki yang baru saja kembali setelah berbicara dengan tunangannya di seberang sana itu terlihat sangat murka. “Lu, ngap—” sebelum Calvin menyelesaikan kalimatnya. Jade langsung menghadianya sebuah bogeman kuat di rahang kanannya. Membuat Calvin terhuyung kebelakang.

“BRENGSEK! APA YANG LU LAKUIN HAH?! GUE BUAT SALAH APA SAMPE LU NGELAKUIN HAL BANGSAT KE GUE KAYAK GINI?!”

Calvin mulai menarik kuat kerah kaus Jade, satu pukulan kuat ia layangkan di tempat yang sama seperti Jade memukulnya. Menyalurkan segala emosi yang ia tahan sejak kemarin.

“Sakit? Gak seberapa sama rasa sakit yang Dion rasain karena lu. “

Calvin langung menarik kasar Jade untuk kembali berdiri, di hadapannya ada sang sepupu yang berlumuran darah di sudut bibir dan pipi kanannya yang terlihat memar.

Jade mulai menatap Calvin remeh dan menarik bibirnya keatas, menampilkan seringaian senyum mengejek. Ia mulai mengerti apa yang sedang terjadi saat ini.

“Oh, jadi lu ngehancurin pertungan dan project yang lagi gue garap cuma demi belain Dion? Gila sih, cuma demi cowok yang mau ngangkang sama siapa aja lu sampe tolol kayak gini, apa lu udah ketagihan sama permainan ranjangnya? Emang sih, Dion kalo udah di ranjang liar banget.”

BUGHHHHH

Calvin kembali melayangkan tinjuannya, sialan berani-beraninya Jade mengatai kekasihnya.

“Lu nggak terima? Apa jangan-jangan lu belum pernah ngerasain lubang nya?”

“Diem brengsek!”

BUGHHHH

Lagi. Calvin melayangkan tinjunya pada muka Jade yang sudah babak belur dan penuh darah.

“Orang kayak Dion tuh cuma bakal nyakitin elu aja Vin. Dia cinta sama lu atau nggak juga nggak ada yang tau.”

Calvin mulai menarik bibirnya keatas, menampilkan seringaian senyum mengejek. Membuat darah Jade semakin mendidih.

“Dion emang cinta sama gue. Lu yang nggak tau apa-apa tolol.”

BUGGGH!

Satu pukuluan kuat Jade layangkan ke rahang kiri Calvin. Dia beneran gak terima sama tingkah laku pongah sepupunya.

Calvin terhuyung ke meja kecil yang berhiaskan vas, bikin vas tersebut ikut jatuh dan pecah. Semua orang yang ada di taman belakang ikut masuk begitu mendengar suara vas pecah.

“JADE KENAPA SI——– ASTAGA CALVIN.”

Sang Oma mulai menghampiri cucu sulungnya yang sudah memar di bagian pipi atas, akibat pukulan kuat si bungsu. Sedangkan Januar sudah bergerak cepat menahan Jade yang hendak mendekat.

“LU BERANI DEKETIN DIA LAGI, GUA BIKIN SEMUKA-MUKA LU ANCUR.”

“Kenapa? Takut kalah lu? Takut dia balikan lagi sama gue?”

“BANGS—”

“UDAH!”

Suara teriakan Oma mulai menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Membuat keduanya hanya bertatapan nyalang, mengirimkan pesan lewat netra bahwa mereka benci satu sama lain.

“KALIAN INI BERSAUDARA! APA YANG KALIAN RIBUTKAN SAMPAI HARUS BERTENGKAR SEPERTI INI. CALVIN KAMU NAIK KE KAMAR.”

Calvin mulai balik badan, mengikuti perintah Omanya untuk hendak kembali ke kamar sebelum tiba-tiba ia kembali membalik tubuhnya menghadap Jade. Seringaian senyumnya kembali terlihat mengejek.

“Ah satu lagi jade, lu gausah ngajak gue saingan. He doesn't love you anymore, kalau lu lupa. Jadi, lu bakal kalah sebelum mulai.”

Calvin mulai berjalan menjauh dari Jade, menaiki tangga dan hendak meninggalkan lantai bawah. Sebenarnya dia belum puas tapi dia juga sudah berjanji pada Dion kalau dia tidak akan melakukan kekerasan fisik pada Jade.

Dion dengan rambut basah yang masih meneteskan beberapa tetes air, handuk yang mengalung di leher berjalan mendekati Calvin yang sedang duduk di tepian ranjang. Langkahnya ragu dan amat perlahan, tangannya tergenggam erat di depan badan.

“Duduk sini.” Perintah Calvin, sambil menarik sebelah tangan Dion untuk duduk di sampingnya.

Calvin membuka kotak P3K yang berada di sisi lain tubuhnya.

“Pinjem tangannya.” Sadar apa yang akan dilakukan Calvin padanya, Dion secara otomatis menarik tangannya menjauh. Menyembunyikannya di belakang badan.

Calvin tahu apa yang di pikiran Dion saat ini, dia pasti malu. Dion lantas menggeleng kecil, bermaksud menolak.

Respons yang malah dijawab Calvin dengan seulas senyum. “Gakpapa, sini aku obatin, ya?” Serta, sepasang tangan yang menengadah di atas pahanya. Yang dengan sabar menunggu sang terkasih bersedia mengabulkan permintaannya tadi. “Gak perlu malu. Aku gak akan anggap kamu aneh-aneh kok.”

Walau masih sedikit diselubungi ragu, akhirnya Dion memberikan tangannya pada Calvin. Ia membuka kepalannya perlahan. Menunjukkan barisan luka yang menghiasi telapak pucatnya.

Dihadapkan luka bekas kuku-kuku yang menancap itu seketika buat Calvin mengerti, mengapa Dion suka sekali bekerja. Meski di hari libur atau akhir pekan sekalipun, ia tetap bekerja. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi nya.

Hal itu ternyata caranya dalam mendistraksi diri dari semua permasalahan duniawi yang dimiliki. Sama seperti luka-luka ini — bukti konkrit akan usahanya mengalihkan perhatian dari serangan panik yang berpotensi merampas hidupnya.

Mungkin di mata sebagian orang, orang-orang seperti Dion dinilai aneh. Namun Calvin mengerti, tidak semua orang dapat bertahan hidup dengan cara sewajarnya.

Some people hurt themselves to keep breathing. Some people hurt themselves to feel alive. Some people hurt themselves to survived.

Itu salah. Benar-benar salah, tapi siapa Calvin hingga berani untuk menghakimi? Dia tidak pernah berada di posisi mereka. Dia tidak pernah menderita sama seperti  Dion.

Tak sadar, pikiran yang berputar di kepala Calvin membuat pandangannya terarah pada luka Dion dalam durasi terlalu lama. Si empunya lantas merasa sedikit tak nyaman. Ia merasa dihakimi oleh sepasang netra.

Namun, belum sempat berlarut-larut tenggelam dalam prasangka buruknya, perasaan negatif itu ditebas habis oleh tindakan tiba-tiba Calvin. Sebab bukan hanya memandang, jermari Calvin juga mulai berjalan mengambang di atas luka Dion. Menyentuhnya samar dan pelan, seakan permukaan tangan itu merupakan kaca yang rentan retak.

Lalu, seolah tak cukup menganggetkan Dion, si pemuda malah membawa tangan itu mendekat ke bibir. Membiarkan kecupan manisnya menyentuh setiap luka yang terlukis di sana.

Semuanya, tanpa terkecuali. Tanpa ada yang tertinggal.

“These wounds need to be appreciate,” tuturnya, usai seluruh luka Dion telah disapu bersih bilah kenyal si pemuda. “Because they’re the proofs of your victory against this shitty life.”

Sontak, Dion termangu.

Calvin Mahendra… he’s unreal.

“When you feel like suffocating or need distraction, call me, Taa. Talk to me. Jangan kayak gini lagi, oke?”

“Kan kita lagi berantem tadi.”

Calvin terkekeh singkat. “Lagi apapun, kalau kamu telepon dan aku tau, aku pasti angkat kok. Kalau gini, kamu malah makin sakit.”

Sambil menjawab, jemarinya dengan lihai mengoleskan salep pada luka Dion. Lamat-lamat dan hati-hati, berusaha sebisa mungkin tidak menyakiti.

Dion memperhatikan bagaimana jemari besar Calvin berpindah dari satu sisi ke sisi lain telapaknya. Ia memperhatikan bagaimana dirinya sesekali mendongak, untuk mengecek ekspresi Dion. Ia memperhatikan bagaimana surai hitamnya yang tampak begitu lembut jatuh menutupi dahi.

Hanya melihatnya begitu saja, jantung Dion langsung berdegup lebih cepat dari biasanya. Namun, bukan tipikal detakan yang ia benci. Yang ia dapat karena pikirannya sedang kalut.

Peningkatan tempo detak jantung ini justru Dion sukai. Sebab itu yang menjadi salah satu hal yang membuatnya merasa hidup.

Dion mengulurkan tangannya, yang sudah selesai diobati. Lantas jemarinya membelai pelan tumpukan surai legam itu.

Membuat Calvin agak terkesiap dan mendongak. “Kenapa, Taa?”

“Do I ever tell you how much you mean to me, Al? How much I love you?”

“No.” Kali ini, giliran Calvin yang menggeleng. “Do you ever love me, Taa?”

“I do.” Lugas dan tegas, jawab itu diberikan, sambil menatap tepat di manik pekat Calvin. Membiarkan pemuda itu melihat sejuta kejujuran yang menyesaki irisnya. “And that love gets bigger and bigger each seconds.”

Juga, sambil mengusap lembut rahang sang tersayang. Membiarkan kasih tersalurkan lewat sentuh jemarinya.

“I am truly, deeply and madly in love with you, Calvin Mahendra.”

Dengan jantung berdebar abnormal, Calvin mencoba mencari kebohongan dalam manik coklat gelap Dion. Atau mungkin, ketidak yakinan. Apapun yang menunjukkan bahwa pemuda itu tidak serius.

Namun, tak ada sama sekali. Yang ia temukan justru binar jujur dan tulus, memperindah mata sembabnya. Membuatnya berkilau bak permata termahal di dunia.

Tanpa menunggu satu detik lagi berlalu, Calvin langsung menyingkirkan tangan Dion di wajahnya. Bersamaan dengan tangan lainnya yang bergerak menarik tengkuk pemuda itu.

Hingga bibir masing-masing akhirnya kembali bertemu, setelah berminggu-minggu menjadi asing. Saling melepas rindu, dalam ciuman yang meskipun sederhana, namun tetap menimbulkan candu.

Tanpa ada yang tau, lewat gerak bingkai kenyal itu mereka saling berkata cinta. Saling memberitahu, bahwa yang satu begitu mencintainya. Dan satunya lagi tak akan pernah menyerah padanya.

“Aku sayang kamu.”

Lalu untuk kesekian kalinya, Dion kembali mengaku cinta. Sambil mendusalkan wajah di ceruk leher lelaki favoritnya itu, ia kembali membisikan kata yang hanya layak diberikan padanya.

“I really do love you, Calvin Mahendra.”

Keadaan Dion saat Calvin menemuinya di sebuah lobi hotel sukses membuatnya murka. ia terlihat bak orang linglung. Duduk di ujung sofa dengan wajah bingung, namun tatapan kosong.

Lalu, ketika akhirnya ia duduk di kursi penumpang mobilnya, Calvin dapat melihat dengan jelas paras manis si pemuda yang berubah pucat. Dengan hiasan warna kehitaman di bawah mata. Bibir yang juga pucat, dan hanya tampak memerah di titik tertentu, karena terluka. Serta, tangan mengepal yang bergetar samar.

Calvin ingin murka pada siapapun yang membuatnya seperti itu. Pada si empunya diri yang membiarkan hidup menghabisinya hingga babak belur. Pada dirinya sendiri yang sempat tak mau menemuinya. Juga, pada semesta yang memperlakukannya sekejam itu.

Ia benar-benar marah, namun di saat yang sama, Calvin pun tak mampu berbuat apa-apa.

Ia tak tahu harus mengambil sikap seperti apa — memeluknya, memarahinya, memberinya petuah, atau terus mendiamkannya seperti ini. Karena meskipun Dion ada di sampingnya, ia terasa sangat jauh. Tak tersentuh dan tergapai. Tak bisa dimengerti dan dipahami.

15 menit sudah berlalu, setelah Calvin menjemput Dion. Membawanya pergi dari kesendirian serta kekalutan yang teramat berbahaya baginya, ke tujuan tak pasti. Sekadar menyusuri jalan ibu kota, sebab ia yakin Dion tak ingin pulang ke kost nya.

Dion tau, hidup yang dijalani bertahun-tahun ini sudah sangat berantakan, sampai titik di mana tidak ada lagi nilai positif di dalamnya.

Dan ia sadar, semua itu karena ulahnya sendiri.

Iya, bukan hanya temannya saja yang lelah dengan dia. Bukan hanya orang-orang yang pernah bersamanya saja, yang menyerah menghadapinya. Bukan hanya Calvin saja yang ingin angkat tangan dalam memperjuangkannya. Dion juga merasakan hal yang sama.

Bahkan, bukan cuma orang-orang yang menganggapnya jahat. Dion pun punya anggapan serupa terhadap dirinya sendiri. Ia juga merasa jahat. Pada dirinya, teman-temannya, orang-orang yang ia sayang dan menyayanginya — semua.

Ia juga merasa brengsek. Ia merasa menjadi orang paling bajingan, yang dengan tega mempermainkan perasaan orang lain berulang kali. Yang dengan tega menyiksa hati mereka atas nama luka yang ia sendiri punya.

Serta, yang dengan kejam membunuh perlahan jiwanya sendiri dengan cara mengunci diri dalam sebuah kotak sempit nan gelap hanya bersama luka.

Tapi, terlepas dari semuanya, apa benar Dion tak pernah berusaha untuk keluar dari kotak itu?

Apa benar Dion tak pernah mencoba untuk berlari dan meraih tangan-tangan yang pernah terulur untuknya?

Apa benar semua yang dikatakan Bima, bahwasannya ia hanya pasrah dan selalu pasrah?

Tidak.

Tidak benar sama sekali.

Dion juga pernah berusaha. Dion juga pernah mencoba.

Demi seisi alam semesta, Ardion Dirgantara bersumpah, ia juga pernah ambil sikap untuk melawan semua rasa sakitnya. Untuk menyembuhkan semua luka yang merenggut kebahagiaannya.

Ia pernah melewati malam dalam sesak, hanya demi memberanikan diri untuk coba bercengkrama dengan orang yang ia sudah tau intensinya apa. Ia pernah melewati malam dalam kepanikan, hanya demi memberanikan diri untuk coba menghabiskan waktu bersama seseorang. Ia pernah melewati malam dalam ketakutan, hanya demi memberanikan diri untuk coba membuka hati dan diri.

Langkahnya memang cenderung kecil. Terkesan tidak ada sama sekali, malah. Tapi, sekecil apapun itu, ia melakukannya dengan susah payah dan terseok-seok.

Sayang, tak ada satu orang pun yang melihat usahanya dalam keluar dari penderitaan hidup, hanya karena ia berakhir gagal.

Tak ada satu orang pun yang percaya ia telah mencoba memperbaiki diri, hanya karena ia berakhir menyerah.

Lalu, semua langsung menunjuknya sebagai yang paling bersalah, hanya karena kini terlihat pasrah.

Tanpa mereka tau, pasrah itu didapat dari lelah berkepanjangan. Karena dengan terus-menerus mencoba, ia juga bisa merasa cukup. Dengan terus-menerus berusaha bangkit saat sudah tersandung berulang kali, lukanya juga bisa terbuka kembali.

Terlebih saat gagal maupun jatuh, tak ada yang berusaha ataupun mengajarkannya untuk meyakinkan diri, bahwa ia sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada yang mengajarkannya untuk rehat sejenak, sebelum mencoba lagi.

Alhasil, ia pun tumbuh jadi pribadi yang taunya hanya mencoba. Tanpa pernah berkenalan dengan istirahat.

Dan percayalah, gagal dalam mencoba suatu hal memang sebuah proses menuju keberhasilan. Namun, diri yang ditimpa kegagalan tanpa henti juga perlu dikasihani. Perlu diberi waktu untuk melepas lelah di hati. Perlu diapresiasi.

Karena jika tidak, hal itu justru menimbulkan efek samping yang dahsyat. Yang dapat membuat kondisi seseorang menjadi lebih parah. Terutama orang-orang seperti Dion, yang pada dasarnya memang tidak pernah baik-baik saja.

Orang-orang yang akan berakhir menyalahkan dirinya sendiri, atas hal yang sebenarnya sangat wajar terjadi dalam sebuah proses menuju penyembuhan dan kebahagiaan.

Tapi, kembali lagi, tak ada yang menganggap niat kecilnya dalam menyembuhkan diri itu ada. Maupun, harapannya untuk hidup lebih baik.

Hingga akhirnya, ia menganggap dirinya hanya kegagalan tak tertolong. Ia menganggap dirinya tak lebih dari pribadi yang mau pasrah atau berusaha pun, akhirnya akan sama. Yakni, menyakiti orang terdekatnya.

Semesta bisakah,

Perlakukan Dion dengan lembut?

Kalau Dion salah tolong, beritahu perlahan.

Tolong, ingatkan Dion dengan sabar.

Tolong, maafkan Dion atas semua kesalahan yang membuat hal buruk begitu suka memeluknya.

Tolong. Dion mohon untuk berhenti.

Bukan hidupnya yang berhenti, namun semua penyiksaan ini. Sebab jauh di dalam palung hatinya, selelah dan sebenci apapun dia terhadap diri sendiri, Dion masih ingin bahagia.

Sekali saja seumur hidupnya, ia ingin benar-benar bahagia dengan orang yang juga bahagia atas keberadaannya. Bahagia tanpa ketakutan akan bayang-bayang hal buruk akan menimpanya kemudian.

Tolong, beritahu Dion apa yang harus ia lakukan.

Tolong, ajarkan Dion cara hidup yang sebenarnya.

Dion tidak tahu.

Sungguh, ia tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu cara kerja semesta. Ia tidak tahu cara mendapatkan bahagia. Ia tidak tahu cara menyembuhkan diri, tanpa melukai orang lain.

Ia tidak tahu cara memperbaiki semuanya. Ia tidak tahu harus terus mencoba atau menyerah saja. Ia tidak tahu sama sekali langkah mana yang terbaik.

Sebab sejatinya, Ardion Dirgantara hanya seorang anak kecil yang terjebak dalam dunia orang dewasa.

Ardion Dirgantara hanya anak laki-laki yang sisa asa dalam jiwanya kemudian dipatahkan, dirampas, dan dihancurkan beberapa tahun lalu oleh seseorang yang begitu ia percaya.

Seseorang yang telah ia berikan seluruh cinta yang tersisa dalam dirinya. Seseorang yang telah ia relakan seluruh hidupnya untuk dia.

Sungguh, ia hanya anak-anak yang secara tak langsung, tak pernah diberikan pilihan untuk bahagia. Tak pernah diberikan kesempatan untuk menyayangi dirinya sendiri. Tak pernah diberikan waktu barang sedetik untuk menerima kenyataan pahit, sebelum menimpanya dengan kenyataan yang lebih menyakitkan.

Ardion Dirgantara hanya anak kecil. Jadi tolong — tolong, berhenti menyakitinya.

Dion tidak sadar tubuhnya sudah bergetar hebat. Ia tidak sadar kepalan tangannya kian mengetat.

Kondisi dirinya sendiri baru disadari, setelah tangan besar Calvin mendekap tangannya.

Ia tak berkata apa-apa. Matanya bahkan fokus ke jalan raya. Tapi dari genggaman eratnya, Dion tahu, Calvin peduli dengannya. Dari usapan lembut di punggung tangannya, Dion tahu, Calvin menyayanginya.

Maka dengan hati berkecamuk dan napas tersengal, Dion berusaha melawan semua rasa takutnya untuk membalas genggaman Calvin. Mendekap tangan itu dengan tak kalah erat. Sekaligus memohon dalam bisu untuk tidak melepaskannya.

Jangan pernah sekalipun melepaskannya, karena Dion takut sendiri. Dion takut dengan dirinya. Dion tidak bisa hidup hanya dengan dirinya.

Lalu, rasa takut yang selama ini membatasi ruang geraknya itu dilawan lagi. Meski sulit sekali rasanya bernapas untuk Dion saat ini, ia tidak peduli. Ia membuka mulutnya yang terasa kaku.

“Al…” Lantas dengan bibir bergetar, bisik pilunya terlontar. “S-sakit.”

Seketika itu juga, dunia Calvin terasa hancur.

Hancur sehancur-hancurnya, karena pengakuan itu terdengar terlampau menyakitkan untuknya.

Ia sampai menelan ludah, demi menetralisir emosi yang menahan kerongkongannya. “Gakpapa.” Ia eratkan genggamannya. “Gakpapa, nanti sembuh kok. Nanti aku bantu, ya?”

Dan saat ia kira dunianya tak bisa lebih hancur lagi, Diom membuktikan perkiraannya salah total.

Sebab tepat ketika rasa basah menyentuh punggung tangannya, ketika itu juga indra pendengar menangkap isak Dion.

Isakan kecil, yang belum sempat Calvin proses terlebih dahulu, serta-merta menjelma jadi tangis pilu. Menggema di seluruh sudut mobil, menyayat hati Calvin, hingga terasa luar biasa ngilu.

“S-sakit, Al..” ucapnya terbata, sebab tangis mengacak laju napas. “Sa-sakit banget.”

Tangan Calvin sontak dilepas. Lalu, Dion menggunakan telapaknya untuk menutup wajah. Untuk meredam suara tangisannya yang semakin kencang.

Benar-benar kencang, hingga Calvin dapat merasakan sesakit apa hati Dion saat ini.

Benar-benar kencang, hingga Calvin dapat mengerti seberat apa hidupnya. Sebesar apa beban yang ia bawa selama ini.

Benar-benar kencang, hingga tanpa pikir panjang, Calvin membanting stir ke bahu jalan. Memberhentikan mobilnya sembarang.

Lalu, ia lepas sabuk pengamannya dan milik Dion, sebelum menarik tubuh kurus itu ke dalam dekap. Memeluknya seerat mungkin, berusaha menahannya agar tidak hancur berkeping-keping. Menenggelamkan wajahnya di dada, membiarkan air mata membasahi hoodie hitamnya.

“S-sakit..,” lagi, Dion meracau tak jelas. “C-capek..” Baju Calvin dicengkram kuat olehnya. “Sakit banget, Al…”

“Shh..,” Berulang kali, Calvin usap punggung Dion, dengan penuh kasih. “Nanti sembuh, Sayang. Nanti pasti sembuh.”

Berulang kali juga, ia kecup puncak kepalanya penuh sayang. “You’re doing great. Kamu udah bertahan dan berusaha sejauh ini, kamu pasti sembuh. Aku yakin, semua luka kamu pasti bisa sembuh.”

Samar, Calvin merasakan kepala Dion menggeleng di dadanya. Menolak percaya dengan perkataannya. “I hurt you. I’m n-not doing great. I hurt you, Al. Maaf… Maafin aku…”

“Shh.., tata, sayang, gakpapa, okay? Aku gakpapa.”

“Please — please, percaya aku udah coba. Please percaya aku udah berusaha perbaikin diriku. Tapi aku gagal lagi. Maafin aku, Al... Aku minta maaf. Aku minta maaf, Al… I don’t deserve you, I’m sorry. I’m sorry, please forgive me.”

Demi Tuhan, air mata sudah menggenang di pelupuk mata Calvin saat ini.

Iya, Calvin sangat tahu apa yang dilakukan Dion salah. Ia sangat tahu, dirinya berhak mendapatkan permintaan maaf dari Dion. Tapi, tidak begini. Tidak sekarang.

Tidak saat ia sendiri sedang sehancur ini. Tidak saat ia sendiri sedang berusaha mati-matian untuk tetap hidup.

“Al, sakit banget. Aku gak ngerti harus apa. Aku gak tau harus gimana lagi. Aku — Please, maafin aku yang kayak gini. Maafin aku yang harus jadi anak broken home. Maafin aku yang bego dan lemah. Maafin aku yang kayak ayahku. Maaf — tolong, maafin aku, Al. Maaf — “

Tak sanggup dengan racauan Dion yang semakin kemana-mana, Calvin kembali mengeratkan pelukannya. Benar-benar erat, jika saja Dion sedang dalam kondisi baik, ia pasti akan protes karena badannya terasa remuk.

Tapi saat ini, ia tidak mengatakan apapun. Bahkan, racauannya malah berhenti. Sedangkan tangisnya bertambah kencang. Sebab sekarang, memang pelukan ini yang sangat ia butuhkan.

Memang dekapan sayang Calvin yang sangat ia butuhkan. Memang rengkuh hangat Calvin yang teramat ia butuhkan.

Memang hanya Calvin Mahendra yang ia butuhkan. Tidak ada lagi.

“Nggak semua salah kamu. Dengarin aku, Dion, nggak semua salah kamu,” bisiknya, tepat di telinga Dion. Suaranya pun bergetar, sebab tak kuat menahan luapan berbagai emosi. “Nggak semua harus kamu yang nanggung bebannya. Nggak semua harus kamu yang tanggung jawab. Nggak semua, oke?”

Diam, hanya tangis yang menjawab.

“Kamu nggak lemah, sayang. Kamu udah bertahan sejauh ini, dari mananya lemah?” Tangan Calvin tidak pernah diam. Terus membelai surai hitam Dion, serta mengusap punggunya yang tak henti bergetar. “You’re the strongest person I’ve ever knew. You’re brave and I’m proud of you. I really do. I really really do, taa.”

Calvin tak main-main saat mengatakan itu. Bukan hanya untuk menenangkan pun menguatkan, tapi karena ia benar-benar bangga pada Dion.

Sebab untuknya, Dion sungguhlah kuat. Ia teramat kuat, sampai bisa bertahan sejauh ini. Ia sangat kuat, sampai berani meneleponnya untuk mencari pertolongan. Ia sangat kuat, sampai berani menunjukkan sehancur apa ia sebenarnya. Ia sangat kuat, sampai mampu mengakui kondisinya sendiri.

Ardion Dirgantara di mata Calvin Mahendra adalah pribadi yang sangat kuat.

Meski tidak ada yang menganggapnya begitu atau mengapresiasi setiap usahanya pun, Calvin tidak masalah sama sekali menjadi satu-satunya orang yang terus mengingatkan Dion akan seberapa hebat dirinya.

Sementara di sisi satunya, alih-alih menjawab, tangis Dion malah semakin kuat terdengar. Ia terisak — meraung-raung, di dada Calvin. Namun kali ini bukan hanya karena sakit di hati, melainkan rasa syukur yang teramat, yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Rasa syukur karena takdir mempertemukannya dengan sosok Calvin Mahendra.

Sosok yang tidak pergi, meski saat ia mengusirnya. Sosok yang tidak lari, meski saat ia menunjukkan titik terendahnya. Sosok yang tidak melepaskannya barang sedetik, meski saat dirinya sudah hancur berkeping-keping.

“Nangis, Taa, Nangis sepuas kamu.”

Sosok yang tidak hanya ingin melihat tawanya, melainkan juga tangisnya. Sosok yang tidak pernah berhenti memeluknya, juga merengkuhnya dengan kasih sayang.

“Cry and let all the pain go.” Vokal lembut Calvin mengudara, menelusup ke telinga Dion, lalu mendekap hangat hatinya. “Let it all go, then let it heal. Aku di sini. Aku akan selalu temenin kamu dan gak akan pergi ke mana-mana.”

Malam itu, di mobil Calvin, Dion menangis sejadi-jadinya. Ia runtuhkan tembok kokoh pelindung dirinya. Ia tunjukkan sebenar-benar dirinya. Ia lunakkan keras hatinya. Ia ceritakan semua yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Semua, mulai dari kedua orang tuanya, hingga semua perkataan Jade tempo hari. Tanpa melebihkan, pun mengurangi. Tanpa menutupi, pun menyembunyikan.

Walau masih sulit dan sakit; walau Dion harus berkali-kali menjeda ceritanya untuk kembali menangis di pelukan Calvin, ia tidak pernah berhenti.

Karena semua perjuangan yang Calvin Mahendra lakukan, serta ketulusan dan kasih sayang yang ia berikan untuknya, lebih dari layak untuk dibayar tuntas dengan hal yang paling sulit Dion berikan kepada orang lain;

Yakni, kepercayaannya.

Kepercayaan yang teramat besar, sampai mampu membuatnya berani untuk menepis semua ketakutannya.

Manusia sering sekali menginginkan sesuatu. Lalu saat berhasil mendapatkannya, jangankan bahagia, dunianya malah hancur menjadi debu. Kenapa bisa begitu?

Sebab biasanya manusia sulit memahami diri sendiri. Tidak menyadari apa yang di mau oleh jiwa dan raga. Hal yang ia inginkan justru berpeluang membuatnya mati berdarah-darah. Hal yang ia sangka baik, nyatanya hanya kamuflase dari bentuk pilihan terburuk. Sialnya, manusia akan menyadari hal tersebut saat kata hancur sudah di depan mata.

Satu dari sekian banyak manusia sial tersebut adalah Dion Dirgantara yang kini tengah terduduk di tepi ranjang sebuah kamar tanpa ada sumber cahaya sedikitpun, kecuali dari layar ponselnya yang masih menampilkan ruang obrolan dengan sahabat yang membawa informasi bahwa Calvin sudah menyerah terhadapnya. Seperti yang ia mau. Kedua tangannya terkepal erat, membuat kuku menancap sadis pada telapak tangannya yang pucat.

Informasi yang sebenarnya sudah ia duga, tapi tak ia sangka saat menerima informasi itu dirinya akan diserbu oleh ribuan jemari tak kasat mata yang kemudian mencekiknya tanpa iba. Menghadirkan gelak tawa yang menertawakan kondisinya. Menghancurkannya yang sudah tak karuan bentuknya menjadi kepingan yang lebih kecil lagi.

Calvin Mahendra menyerah.

Seperti yang dia mau. Tapi kalau dilihat dari keadaan Dion saat ini, kepergian sang mantan kekasih bukanlah yang sebenarnya ia butuhkan.

Namun, Dion tetaplah Dion si pengecut yang selalu membiarkan luka menguasai dirinya. Mengontrol akal sehat dan menumbuhkan duri semakin banyak dihatinya. Si penakut, yang selalu berlindung dalam tempurung hingga lukanya membusuk, dari pada keluar menyambut pertolongan baik.

“Lu udah pernah ngalamin ini, Yon.” rapalnya berulang kali guna menenangkan diri. “Lu udah terbiasa kayak gini, jadi kali ini lu juga pasti bisa, Yon.”

Ini memang bukan kali pertama bagi Dion. Sakitnya, sesaknya, rasa mencekiknya, ini semua bukan hal yang asing. Bedanya dulu sakit karena Ayahnya yang selalu bertindak semaunya pada Ibu, Adik, bahkan dirinya. Lalu sesak dan mencekik itu muncul kala Jade memutuskan hubungannya secara sepihak.

Dion terbiasa.

Ia sudah berteman baik dengan nyeri di dada. Ia hanya butuh tidur se-lama mungkin. Lalu terbangun dengan pikiran, jiwa dan perasaan yang kosong hingga tiba di titik hampa.

Nahas, baru saja kepalanya menyentuh bantal dan badan tertutup selimut rapat, bukan mimpi yang menjemput justru kenangan kencan pertama dengan Calvin menarik paksa keluar dari persembunyian, juga potongan-potongan memori lain di mana ada calvin di dalamnya; Saat pertama tak sengaja bertemu Calvin di depan kost-nya, mengajak Calvin minum kopi sebagai ucapan terimakasih karena telah menolongnya dan berusaha memblock nomornya, tapi justru berlanjut menjadi obrolan virtual yang menyenangkan. Saat pertama kali calvin menggenggam tangannya sampai saat Calvin mantapnya dengan tatapan kecewa saat melihat dia dengan Jade tempo hari. Bagai reka ulang kejadian, yang sialnya sukses menambah rasa sesak di dada. Membuatnya sakit bukan main, hingga pukulan bertubi-tubi yang ia berikan di sana tak berasa apa-apa.

Dan dengan lancangnya perkataan Jade saat menemuinya justru beresonansi begitu keras di telinganya. *“Gue masih sayang sama lu waktu kita pisah, tapi gue juga nggak bisa relain masa depan gue cuma karena sayang itu. Gue pengen punya keluarga yang harmonis, dan itu semua nggak mungkin gue bisa dapetin elu. Elu yang gampang emosian dan semaunya sendiri kayak bokap lu. Because sadly, the apple never falls far from a tree. You eventually like your father, and i can’t afford to lose my dream family to that.”

“Gue sempet tutup kuping sama orang-orang yang bilang pacaran sama anak broken home itu cari sakit hati doang. Gue pikir elu beda dan kita bisa jalanin itu, tapi kelamaan lu mulai buktiin apa yang orang-orang bilang itu bener. You started to show your true colors. The you that really broken, to the point that i need to be extra careful to treat you. Perlu ngeluangin banyak waktu supaya lu ngeasa dicintai. Gue perlu memahami lu lebih baik dari gue ngerti diri gue sendiri. Gue harus dengerin lu, buat semua kisah sedih lu. Gue ngarasa gue bukan pacar lu tapi care giver lu. Bukannya bahagia tapi justru beban yang gue dapet. Gue nggak bisa nanganin lu, Yon. elu kayak bom yang lagi nunggu waktu buat meledak dan ngancurin orang-orang yang di sekitar lu. Ardion, the worst thing is you and you can’t be helped anymore.”*

Kala itu Dion hanya anak yang baru puber, yang tidak tahu arti cinta. Jade itu cinta pertamanya. Dia segalanya buat Dion. kehadiran Jade dihidupnya mungkin hanya selewat, namun kenangannya cukup banyak dsn susah ia lupa. Meskipun Jade juga banyak memberikan kenangan buruk, tapi tidak bisa dipungkiri kalau hanya Jade yang bisa membuat seorang Dion Dirgantaramenampilkan sisi manjanya, menceritakan segala cerita yang tersimpan rapat oleh dirinya sendiri dan membuat Dion rela memberikan segalanya asal pemuda itu tetap tinggal dan tak pergi karena ia sudah jatuh cinta pada pemuda itu berulang kali.

“Arrrghhh, bangsat!” Dion melemparkan bantalnya.

Rasa takut mulai menyelimuti Dion. Bukan pada kenyataan, melainkan pada dirinya sendiri.

Saat ini, Dion sangat takut dengan dirinya sendiri dibanding apapun. Di mana otaknya bekerja tanpa dilindungi kewarasan. Tubuhnya bergera tanpa akal sehat. Sungguh, Dion sangat takut. Sendirian di saat berada di titik terendah seperti ini membuatnya teramat takut, sampai-sampai bernafas pun sulit untuk dilakukan.

Ia ingin seseorang memeluknya. Ia ingin seseorang merengkuh tubuhnya dengan erat. Teramat erat, sampai seluruh kepingan yang sudah bercecer di lantai bisa kembali bersatu.

Ia ingin seseorang hadir di sisinya. Tak perlu untuk berkata-kata, hanya cukup ada bersamanya. Memberitahu lewat aksi, bahwa Dion tak akan pernah sendiri. Meyakinkannya, bahwa ia akan baik-baik saja.

Bima benar. Dion selalu bilang tak butuh siapapun, saat kenyataannya ia butuh. Ia selalu butuh kasih sayang yang mereka berikan. Ia selalu butuh kehadiran serta ketulusan orang lain di hidupnya. Selalu.

Atau lebih spesifiknya, bukan sekadar seseorang, mereka, atau orang lain saja, melainkan Calvin Mahendra. Hanya Calvin Mahendra.

Sebab hanya pria itu satu-satunya orang yang mampu menenangkan kekalutan dalam hati dan kepalanya hanya dalam hitungan menit. Ia satu-satunya orang yang mampu membuatnya merasa aman, ketika dirinya tengah berada di ujung jurang sekalipun.

Ia ingin Calvin. Ia butuh Calvin.

Namun, bukankah tak tahu malu jika kini, ia memohon pada Calvin untuk kembali? Untuk mengulurkan tangannya lagi? Untuk memberikannya kesempatan agar dapat jujur pada diri sendiri?

Bukankah itu malah semakin membuktikan, ia dan ayahnya tak ada beda? Sama-sama ‘semaunya’ terhadap orang yang ia sayang.

Apa Dion memang sebrengsek itu? Sebajingan itu?

Fuck, Dia benar-benar ingin berteriak. Dia ingin menangis. Tapi dia tidak bisa. Bahkan air mata menolak untuk menyentuhnya. Menolak untuk membantunya mengurangi rasa sakit di dadanya. Menolak untuk membantunya bernapas, dan memberinya satu kesempatan lagi untuk hidup.

Sontak dengan tangan super gemetar dan jantung berdegup super frantik, Dion meraih ponselnya. Bergerak menuju kontak bernama Al.

Anggota tubuh itu kemudian diam, melayang tepat di atas opsi memulai panggilan. Tengah menghimpin seluruh energi agar tetap tahu diri dan tahu malu. Agar tetap mengingat alasan utamanya menjauh dari Calvin.

Lalu, tidak tahu patut disyukuri atau tidak, ibu jari yang masih bergetar hebat itu secara tak sengaja menyentuh opsi telepon.

Sentuhnya pun samar saja. Namun entah sebercanda apa eksistensinya bagi semesta, sentuhan kecil itu tetap mampu membuatnya tersambung dengan sang mantan kekasih.

Dan kalah cepat tangan Dion dalam memutus panggilan, orang di seberang sana lebih dulu menerima dan menjawabnya.

“Kenapa?”

Serta-merta, Dion tecekat sesaat. Suara yang baru ia tidak dengar dalam hitungan minggu, nyatanya ia rindukan setengah mati. Suara yang meski tak terdengar selembut biasanya itu, nyatanya tetap mampu membuat napasnya melaju sedikit lebih leluasa.

Lucu, bukan?

Bagaimana Dion begitu kekeuh mengusir Calvin dari hidupnya, saat pemuda itu lah yang sebenarnya bisa membuatnya merasa lebih ‘hidup’. Bagaimana Dion begitu takut Calvin tersakiti olehnya, saat langkah yang ia ambil justru membunuh perlahan dirinya.

Sangat lucu, tapi begitulah manusia, ketika tak punya rasa sayang terhadap jiwa dan raga yang dititipkan Tuhan. Ketika mereka sangat menyayangi orang lain, jauh sebelum sayang itu diberikan pada dirinya sendiri.

“Halo?”

Ia menimbang. Haruskah menjadi orang yang berkali lipat lebih brengsek dan memohon pada Calvin untuk datang atau membebaskan pemuda itu sesuai dengan niat awalnya.

Bibir yang sedari tadi sudah ia gigit untuk mendistraksi rasa sakit di hati dengan sakit yang lebih nyata, kini menjadi semakin kencang gigitannya. Hingga sekelebat rasa asin dirasa oleh lidah.

“Kalau gak ada apa-apa, aku matiin — “

“Takut.”

Dan seakan peringatan Calvin begitu menyeramkan baginya, sebuah kata refleks meluncur begitu saja. Terdengar bergetar, serak, dan agak tak jelas karena diselingi napas yang sedikit-banyak masih tersendat.

“Al, gue takut — “ Kalimat yang meskipun sederhana, tetapi sebenarnya adalah pengakuan terjujur yang pernah Jamie kemukakan. “Gue takut banget sama diri gue, Al…”

Selama dirinya mampu mengingat, Dion sudah hidup berdampingan dengan rasa takut. Terhadap hidupnya, dirinya, takdirnya, semua tentangnya. Perasaan itu tumbuh sumbur, seiring kejamnya orang-orang yang awalnya ia percaya, secara sadar atau tidak berakhir menyakitinya.

Satu yang perlu diketahui, rasa takut adalah sebenar-benarnya bom waktu. Emosi itu mungkin disebut-sebut lemah, namun sesungguhnya, saat membludak nanti, ia menjelma jadi perasaan yang begitu kuat hingga mampu menghancurkan hal setangguh diri. Hingga mampu memporak-porandakan hal sebesar hidup.

Dan ini kali pertama Dion dengan lantang mengaku takut. Bukan pada apapun dan siapapun, melainkan pada dirinya sendiri.

Dirinya yang begitu takut, hingga menyiksa jiwa raganya. Dirinya yang begitu takut, hingga melukai orang lain.

Namun saat ia mengaku, Calvin malah membisu.

“Can you… Can you please pick me up..?”

Saat ia memberanikan diri berteriak minta tolong, Calvin malah bungkam.

“Please, Al..”

Ya, Ardion berakhir jadi si tidak tahu malu, yang kembali berharap masih tersisa setitik rasa di hati Calvin untuknya. Meski itu hanya iba.

Atau sebenarnya, ia justru menjadi si pemberani, yang akhirnya berhenti bersembunyi dan lari dari masalah yang dimiliki?

Kondisi pertama atau kedua yang benar sekalipun, ia sudah terlambat. Sebab alih-alih sebuah jawab, yang didapat pertama adalah kekehan kelam nan singkat.

“Aren’t you the one who push me away?” Serta, sebuah dengusan yang sukses mengoyak hati. “Now you want me top pick you up? Really?”

Jantung Dion terasa berhenti bekerja.

“Am I that easy for you, Dion?”

Dan dengan pertanyaan terakhir itu, dengan namanya yang hampir tidak pernah digunakan Calvin untuk memanggilnya, dengan nada suaranya — seluruh hidup Dion berantakan tanpa ada yang harus disalahkan.

Tidak ada, kecuali dirinya sendiri. Karena luka lama dan ketakutannya sendiri adalah orang yang membuat Calvin lelah padanya. Membuat semua orang menyerah padanya.

Manusia sering sekali menginginkan sesuatu. Lalu saat berhasil mendapatkannya, jangankan bahagia, dunianya malah hancur menjadi debu. Kenapa bisa begitu?

Sebab biasanya manusia sulit memahami diri sendiri. Tidak menyadari apa yang di mau oleh jiwa dan raga. Hal yang ia inginkan justru berpeluang membuatnya mati berdarah-darah. Hal yang ia sangka baik, nyatanya hanya kamuflase dari bentuk pilihan terburuk. Sialnya, manusia akan menyadari hal tersebut saat kata hancur sudah di depan mata.

Satu dari sekian banyak manusia sial tersebut adalah Dion Dirgantara yang kini tengah terduduk di tepi ranjang sebuah kamar tanpa ada sumber cahaya sedikitpun, kecuali dari layar ponselnya yang masih menampilkan ruang obrolan dengan sahabat yang membawa informasi bahwa Calvin sudah menyerah terhadapnya. Seperti yang ia mau. Kedua tangannya terkepal erat, membuat kuku menancap sadis pada telapak tangannya yang pucat.

Informasi yang sebenarnya sudah ia duga, tapi tak ia sangka saat menerima informasi itu dirinya akan diserbu oleh ribuan jemari tak kasat mata yang kemudian mencekiknya tanpa iba. Menghadirkan gelak tawa yang menertawakan kondisinya. Menghancurkannya yang sudah tak karuan bentuknya menjadi kepingan yang lebih kecil lagi.

Calvin Mahendra menyerah.

Seperti yang dia mau. Tapi kalau dilihat dari keadaan Dion saat ini, kepergian sang mantan kekasih bukanlah yang sebenarnya ia butuhkan.

Namun, Dion tetaplah Dion si pengecut yang selalu membiarkan luka menguasai dirinya. Mengontrol akal sehat dan menumbuhkan duri semakin banyak dihatinya. Si penakut, yang selalu berlindung dalam tempurung hingga lukanya membusuk, dari pada keluar menyambut pertolongan baik.

“Lu udah pernah ngalamin ini, Yon.” rapalnya berulang kali guna menenangkan diri. “Lu udah terbiasa kayak gini, jadi kali ini lu juga pasti bisa, Yon.”

Ini memang bukan kali pertama bagi Dion. Sakitnya, sesaknya, rasa mencekiknya, ini semua bukan hal yang asing. Bedanya dulu sakit karena Ayahnya yang selalu bertindak semaunya pada Ibu, Adik, bahkan dirinya. Lalu sesak dan mencekik itu muncul kala Jade memutuskan hubungannya secara sepihak.

Dion terbiasa.

Ia sudah berteman baik dengan nyeri di dada. Ia hanya butuh tidur se-lama mungkin. Lalu terbangun dengan pikiran, jiwa dan perasaan yang kosong hingga tiba di titik hampa.

Nahas, baru saja kepalanya menyentuh bantal dan badan tertutup selimut rapat, bukan mimpi yang menjemput justru kenangan kencan pertama dengan Calvin menarik paksa keluar dari persembunyian, juga potongan-potongan memori lain di mana ada calvin di dalamnya; Saat pertama tak sengaja bertemu Calvin di depan kost-nya, mengajak Calvin minum kopi sebagai ucapan terimakasih karena telah menolongnya dan berusaha memblock nomornya, tapi justru berlanjut menjadi obrolan virtual yang menyenangkan. Saat pertama kali calvin menggenggam tangannya sampai saat Calvin mantapnya dengan tatapan kecewa saat melihat dia dengan Jade tempo hari. Bagai reka ulang kejadian, yang sialnya sukses menambah rasa sesak di dada. Membuatnya sakit bukan main, hingga pukulan bertubi-tubi yang ia berikan di sana tak berasa apa-apa.

Dan dengan lancangnya perkataan Jade saat menemuinya justru beresonansi begitu keras di telinganya. “Gue masih sayang sama lu waktu kita pisah, tapi gue juga nggak bisa relain masa depan gue cuma karena sayang itu. Gue pengen punya keluarga yang harmonis, dan itu semua nggak mungkin gue bisa dapetin elu. Elu yang gampang emosian dan semaunya sendiri kayak bokap lu. Because sadly, the apple never falls far from a tree. You eventually like your father, and i can’t afford to lose my dream family to that.”

“Gue sempet tutup kuping sama orang-orang yang bilang pacaran sama anak broken home itu cari sakit hati doang. Gue pikir elu beda dan kita bisa jalanin itu, tapi kelamaan lu mulai buktiin apa yang orang-orang bilang itu bener. You started to show your true colors. The you that really broken, to the point that i need to be extra careful to treat you. Perlu ngeluangin banyak waktu supaya lu ngeasa dicintai. Gue perlu memahami lu lebih baik dari gue ngerti diri gue sendiri. Gue harus dengerin lu, buat semua kisah sedih lu. Gue ngarasa gue bukan pacar lu tapi care giver lu. Bukannya bahagia tapi justru beban yang gue dapet. Gue nggak bisa nanganin lu, Yon. elu kayak bom yang lagi nunggu waktu buat meledak dan ngancurin orang-orang yang di sekitar lu. Ardion, the worst thing is you and you can’t be helped anymore.”

Kala itu Dion hanya anak yang baru puber, yang tidak tahu arti cinta. Jade itu cinta pertamanya. Dia segalanya buat Dion. kehadiran Jade dihidupnya mungkin hanya selewat, namun kenangannya cukup banyak dsn susah ia lupa. Meskipun Jade juga banyak memberikan kenangan buruk, tapi tidak bisa dipungkiri kalau hanya Jade yang bisa membuat seorang Dion Dirgantaramenampilkan sisi manjanya, menceritakan segala cerita yang tersimpan rapat oleh dirinya sendiri dan membuat Dion rela memberikan segalanya asal pemuda itu tetap tinggal dan tak pergi karena ia sudah jatuh cinta pada pemuda itu berulang kali.

“Arrrghhh, bangsat!” Dion melemparkan bantalnya.

Rasa takut mulai menyelimuti Dion. Bukan pada kenyataan, melainkan pada dirinya sendiri.

Saat ini, Dion sangat takut dengan dirinya sendiri dibanding apapun. Di mana otaknya bekerja tanpa dilindungi kewarasan. Tubuhnya bergera tanpa akal sehat. Sungguh, Dion sangat takut. Sendirian di saat berada di titik terendah seperti ini membuatnya teramat takut, sampai-sampai bernafas pun sulit untuk dilakukan.

Ia ingin seseorang memeluknya. Ia ingin seseorang merengkuh tubuhnya dengan erat. Teramat erat, sampai seluruh kepingan yang sudah bercecer di lantai bisa kembali bersatu.

Ia ingin seseorang hadir di sisinya. Tak perlu untuk berkata-kata, hanya cukup ada bersamanya. Memberitahu lewat aksi, bahwa Dion tak akan pernah sendiri. Meyakinkannya, bahwa ia akan baik-baik saja.

Bima benar. Dion selalu bilang tak butuh siapapun, saat kenyataannya ia butuh. Ia selalu butuh kasih sayang yang mereka berikan. Ia selalu butuh kehadiran serta ketulusan orang lain di hidupnya. Selalu.

Atau lebih spesifiknya, bukan sekadar seseorang, mereka, atau orang lain saja, melainkan Calvin Mahendra. Hanya Calvin Mahendra.

Sebab hanya pria itu satu-satunya orang yang mampu menenangkan kekalutan dalam hati dan kepalanya hanya dalam hitungan menit. Ia satu-satunya orang yang mampu membuatnya merasa aman, ketika dirinya tengah berada di ujung jurang sekalipun.

Ia ingin Calvin. Ia butuh Calvin.

Namun, bukankah tak tahu malu jika kini, ia memohon pada Calvin untuk kembali? Untuk mengulurkan tangannya lagi? Untuk memberikannya kesempatan agar dapat jujur pada diri sendiri?

Bukankah itu malah semakin membuktikan, ia dan ayahnya tak ada beda? Sama-sama ‘semaunya’ terhadap orang yang ia sayang.

Apa Dion memang sebrengsek itu? Sebajingan itu?

Fuck, Dia benar-benar ingin berteriak. Dia ingin menangis. Tapi dia tidak bisa. Bahkan air mata menolak untuk menyentuhnya. Menolak untuk membantunya mengurangi rasa sakit di dadanya. Menolak untuk membantunya bernapas, dan memberinya satu kesempatan lagi untuk hidup.

Sontak dengan tangan super gemetar dan jantung berdegup super frantik, Dion meraih ponselnya. Bergerak menuju kontak bernama Al.

Anggota tubuh itu kemudian diam, melayang tepat di atas opsi memulai panggilan. Tengah menghimpin seluruh energi agar tetap tahu diri dan tahu malu. Agar tetap mengingat alasan utamanya menjauh dari Calvin.

Lalu, tidak tahu patut disyukuri atau tidak, ibu jari yang masih bergetar hebat itu secara tak sengaja menyentuh opsi telepon.

Sentuhnya pun samar saja. Namun entah sebercanda apa eksistensinya bagi semesta, sentuhan kecil itu tetap mampu membuatnya tersambung dengan sang mantan kekasih.

Dan kalah cepat tangan Dion dalam memutus panggilan, orang di seberang sana lebih dulu menerima dan menjawabnya.

“Kenapa?”

Serta-merta, Dion tecekat sesaat. Suara yang baru ia tidak dengar dalam hitungan minggu, nyatanya ia rindukan setengah mati. Suara yang meski tak terdengar selembut biasanya itu, nyatanya tetap mampu membuat napasnya melaju sedikit lebih leluasa.

Lucu, bukan?

Bagaimana Dion begitu kekeuh mengusir Calvin dari hidupnya, saat pemuda itu lah yang sebenarnya bisa membuatnya merasa lebih ‘hidup’. Bagaimana Dion begitu takut Calvin tersakiti olehnya, saat langkah yang ia ambil justru membunuh perlahan dirinya.

Sangat lucu, tapi begitulah manusia, ketika tak punya rasa sayang terhadap jiwa dan raga yang dititipkan Tuhan. Ketika mereka sangat menyayangi orang lain, jauh sebelum sayang itu diberikan pada dirinya sendiri.

“Halo?”

Ia menimbang. Haruskah menjadi orang yang berkali lipat lebih brengsek dan memohon pada Calvin untuk datang atau membebaskan pemuda itu sesuai dengan niat awalnya.

Bibir yang sedari tadi sudah ia gigit untuk mendistraksi rasa sakit di hati dengan sakit yang lebih nyata, kini menjadi semakin kencang gigitannya. Hingga sekelebat rasa asin dirasa oleh lidah.

“Kalau gak ada apa-apa, aku matiin — “

“Takut.”

Dan seakan peringatan Calvin begitu menyeramkan baginya, sebuah kata refleks meluncur begitu saja. Terdengar bergetar, serak, dan agak tak jelas karena diselingi napas yang sedikit-banyak masih tersendat.

“Al, gue takut — “ Kalimat yang meskipun sederhana, tetapi sebenarnya adalah pengakuan terjujur yang pernah Dion kemukakan. “Gue takut banget sama diri gue, Al…”

Selama dirinya mampu mengingat, Dion sudah hidup berdampingan dengan rasa takut. Terhadap hidupnya, dirinya, takdirnya, semua tentangnya. Perasaan itu tumbuh sumbur, seiring kejamnya orang-orang yang awalnya ia percaya, secara sadar atau tidak berakhir menyakitinya.

Satu yang perlu diketahui, rasa takut adalah sebenar-benarnya bom waktu. Emosi itu mungkin disebut-sebut lemah, namun sesungguhnya, saat membludak nanti, ia menjelma jadi perasaan yang begitu kuat hingga mampu menghancurkan hal setangguh diri. Hingga mampu memporak-porandakan hal sebesar hidup.

Dan ini kali pertama Dion dengan lantang mengaku takut. Bukan pada apapun dan siapapun, melainkan pada dirinya sendiri.

Dirinya yang begitu takut, hingga menyiksa jiwa raganya. Dirinya yang begitu takut, hingga melukai orang lain.

Namun saat ia mengaku, Calvin malah membisu.

“Can you… Can you please pick me up..?”

Saat ia memberanikan diri berteriak minta tolong, Calvin malah bungkam.

“Please, Al..”

Ya, Ardion berakhir jadi si tidak tahu malu, yang kembali berharap masih tersisa setitik rasa di hati Calvin untuknya. Meski itu hanya iba.

Atau sebenarnya, ia justru menjadi si pemberani, yang akhirnya berhenti bersembunyi dan lari dari masalah yang dimiliki?

Kondisi pertama atau kedua yang benar sekalipun, ia sudah terlambat. Sebab alih-alih sebuah jawab, yang didapat pertama adalah kekehan kelam nan singkat.

“Aren’t you the one who push me away?” Serta, sebuah dengusan yang sukses mengoyak hati. “Now you want me top pick you up? Really?”

Jantung Dion terasa berhenti bekerja.

“Am I that easy for you, Dion?”

Dan dengan pertanyaan terakhir itu, dengan namanya yang hampir tidak pernah digunakan Calvin untuk memanggilnya, dengan nada suaranya — seluruh hidup Dion berantakan tanpa ada yang harus disalahkan.

Tidak ada, kecuali dirinya sendiri. Karena luka lama dan ketakutannya sendiri adalah orang yang membuat Calvin lelah padanya. Membuat semua orang menyerah padanya.

Rasanya, Calvin tidak akan bisa percaya pada pemandangan di depannya.

Ia mematung di tempat, pasokan udara yang berada di sekitar terasa tipis hingga rasanya bernafas pun susah. Jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik.

Dion keluar dengan mata sembab dan hidung yang merah, membuat hati Calvin rasanya sakit bukan main. Tapi fakta dimana ada lelaki mulai mengejar lalu meluk Dion erat, bikin Calvin makin sakit.

“Jade! Lepas!”

Berkali-kali Dion mencoba lepas dari rengkuhan Jade, namun ia gagal karena tenaga laki-laki di depannya ini sangat kuat.

“Stop denial! I can clearly see it from your eyes that you're still love me.”

“Jade, lepas please, gu—”

Sebelum Dion menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ada yang menarik lengannya ke belakang, membuatnya terhuyung hingga hampir jatuh. Jantungnya seolah berhenti begitu melihat siapa penyelamatnya malam ini,

Calvin.

Calvin menggenggam erat lengannya, menyembunyikan tubuh Dion di belakang tubuhnya. “Ngapain di sini, Jade?”

Jade menyugar rambutnya. Kali ini dia tidak mau kalah, karena dia tidak akan membiarkan Calvin memiliki apa yang dia mau dengan mudah. Apa yang Calvin punya dia akan merebutnya, seperti yang sering Calvin lakukan terhadapnya. Ia tidak sudi kalah dari Calvin dalam hal apapun.

“Minggir.”

“Lu yang minggir,”

Jade mulai terkekeh, menatap remeh sepupunya. “Lu masih nggak ngerti juga? Dion mantan gue, lu minggir. Gue lagi ngomong sama dia.”

Calvin mulai mengepalkan tangannya kuat, “gue pacarnya.”

Jade menaikkan satu alisnya, “jangan ngerasa tinggi gara-gara lu pacar Dion. I can still make him break up with you faster than you spell your name.”

“Bahkan gue masih sering contactan sama Dion. He never blocked me. Dia selalu bales kalo gue chat. Asal lu tau dia masih sayang sama gue, lu cuma pelampiasan doang. He's mine.“

Segala emosi yang menyelimuti hatinya itu benar-benar kalah sama rasa kecewa yang mendalam, Calvin nengok ke belakang, netra gelapnya itu bersitatap dengan manik kembar milik Dion. Bisa ia rasakan jari-jemarinya digenggam kuat. Seakan Dion tidak akan melepaskan Calvin barang sedetik.

Deru nafas Calvin yang memburu terdengar jelas di telinga Dion, jantungnya berdegup kencang bukan main begitu bersitatap dengan obisidian gelap yang menatapnya dengan sorot penuh kecewa.

Calvin nengok kearah Jade yang menatap Dion lurus sambil mengepal tangannya kuat. “Lu bisa balik ke mobil dulu gak bentar? gue mau ngomong bentar sama dia. Abis ini lu mau ngomong kek, ciuman, balikan gue nggak peduli. Kasih gua ruang dulu.”

Tanpa menjawab sepatah kata, Jade akhirnya beneran ngasih ruang buat Calvin dan Dion.

“Ikut saya,” Calvin mulai berjalan kearah mobil yang ia parkirkan di belakang mobil Jade dengan Dion yang mengikuti dari belakang.

Sesampainya di mobil Dion mulai narik pergelangan tangan Calvin, namun langsung ditepis. “Yang dibilang Jade bener? Bener kamu masih balesin chat dan gapernah block nomernya?”

Dion mulai natap netra pekat Calvin, Calvin bisa melihat sorot sendu dari sana, mohon ampun dan seolah memintanya untuk tetap tinggal.

“JAWAB!”

Dion yang sejatinya belum pernah mendengar sisi keras Calvin langsung terkejut begitu suara lelaki itu meninggi. “I-iya, bener.” Calvin mengusak wajahnya kasar.

Sebisa mungkin Dion semakin tahan kuat airmata di pelupuk mata yang siap turun kapan saja, menepis segala fakta bahwa hatinya berdenyut sakit melihat Calvin yang biasanya sehangat matahari bisa sedingin es.

“T-tapi gue gak sayang dia lagi. I don't love him anymore. I swear, Al. I—”

“Kamu tau ta, Jade punya pacar. Tapi tetep kamu respon. Kesalahan kamu disitu, apa kamu nggak mikir berapa banyak pihak yang kamu sakitin karena hal ini?”

Nada dingin yang keluar dari bilah bibir Calvin membuat Dion bungkam.

Calvin menghela nafasnya panjang, kepalanya mendongak sebentar. Sorot kecewanya sangat terlihat, menusuk Dion hingga hati terdalamnya. Dia tidak pernah melihat Calvin sehancur ini. Dia tidak pernah melihat sisi Calvin lainnya selain Calvin penyabar. Tangannya terulur untuk mengenggam tangan Calvin sebelum akhirnya Calvin menatap sinis tangannya hingga menepisnya.

“Saya sudah selesai berbicara, bisa kamu keluar dari mobil saya?”

Kali ini Dion Dirgantara kembali kehilangan sosok laki-laki yang berpengaruh dalam hidupnya.

Pikirannya dipenuhi dengan kalimat yang semakin membuat dadanya terasa sesak,

Congratulation Dion, finally you meet the right person. But now, the wrong person is you.

Begitu menerima pesan Dion, Calvin langsung pergi ke kost pacarnya. Beruntung jalanan sudah agak lengang jadi dia nggak kejebak macet dan bisa nyampe lumayan cepet.

Begitu buka pintu kamar kost, pemandangan yang ia dapat Dionnya yang tergelak tak berdaya di atas lantai. Tanpa babibu dia langsung gendong Dion buat pergi ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan Calvin terus merutuki dirinya sendiri. Harusnya tadi malem aku nggak pasrah gitu aja, harusnya tadi malem aku nyamperin tata dan mastiin dia baik-baik. Goblok banget sih lu Calvin.

“Taa, kamu mimpi apa?”

“Mimpi buruk?”

“Kalo gitu bangun dong sayang.”

Calvin mengusap air mata yang seperti tidak ada habisnya turun dari mata si manisnya. Calvin tidak ingin menangis tapi melihat wajah kesayangannya pucat pasi dengan mata tertutup membuatnya takut, takut mata itu tidak akan terbuka lagi, takut wajah itu tidak akan merona dan menampilkan berbagai macam ekspresi lagi. Takut Dionnya akan pergi meninggalkannya sendiri. Walaupun dokter mengatakan Dion hanya stress dan kebanyakan caffein, tapi tetap saja Calvin tidak bisa tenang sebelum mata cantik yang ada di depannya ini terbuka lagi.

“Taa, kamu kalo capek atau ada masalah tuh cari aku jangan disimpen sendiri kayak gini. Kalo capek jalan bilang sama aku nanti aku gendong, aku gandeng tangan kamu.”

Hening.

“Kamu sendiri yang kemaren bilang kalau aku harus hidup yang lama biar kita bisa sama-sama terus, sekarang gantian aku yang minta kamu buat hidup yang lama karena kalo kamu nggak ada, Calvin Mahendra ini nggak akan bisa bertahan di dunia.”

Calvin meraih sebelah tangan Dion, dibawanya naik untuk dicium cukup lama, “Taa, kamu tau kan kalo aku sayang banget sama kamu?”

Mata yang terus terpejam dari beberapa jam yang lalu perlahan terbuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan retina. Ia menghela nafas lega, ternyata masih di dunia yang sama seperti sebelumnya.

Dengan suara serak ia berusaha memanggil lelaki yang duduk di sampingnya juga mencium punggungnya, “Al....”

“Sayang, kamu bangun? Aku panggil dokter bentar ya.” Dion hanya mengangguk.

Wajah Calvin sudah jelas dipenuhi air mata tapi senyum kelegaan juga tampak jelas disana. Ribuan syukur ia ucapkan ke sang pemilik semesta karena telah mengembalikan Dionnya.

Dokter bilang Dion sudah boleh pulang setelah cairan infusnya habis, tapi Calvin kekeh kalau Dion harus rawat inap. Dia nggak mau kecolongan dan lalai dalam menjaga Dion lagi.

“Al, gue beneran nggak apa-apa.”

“Nggak.”

“Al.....”

Shit!

Dion menggoyang-goyangkan lengan Calvin dengan ekspresi wajah yang sangat menggemaskan seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan, ia tahu saja apa yang menjadi kelemahan Calvin.

“Nggak mempan, nggak usah diimut-imutin gitu.”

Gagal ternyata.

“Padahal pacarnya lagi sakit tapi malah dicuekin, dimarahin pula.”

Calvin mengehel nafas gusar.

Ia bawa tubuhnya untuk tidak membelakangi Dion, meanngkup wajah yang masih lumayan pucat dengan kedua tangannya, memberi usapan lembut pada pipi Dionnya.

“Janji nanti harus ceritain kamu kenapa bisa kayak gini kalo aku ijinin pulang?”

Dion mengangguk lucu.

“Oke abis ini kita pulang.”

Dion tersenyum begitupun dengan Calvin. Menyandarkan kepalanya pada dada lelakinya yang saat ini sedang memeluknya.

“Makasih.”

“Jangan sakit lagi.” Pinta Calvin sungguh-sungguh lalu ia mengecup puncak kepala Dion cukup lama.

“Ayo pulang, nunggu apa lagi.”

Dion menatap Calvin dan kakinya bergantian. Ia masih duduk di ranjang dengan kaki yang menggantung di atas lantai tanpa alas kaki, bagaimana caranya ia pulang kalau begini?

Untung saja pacarnya ini seorang Calvin yang kadar kepekaannya di atas rata-rata, lelaki tampan ini paham kalau pacarnya tidak bisa turun dari ranjang tanpa alas kaki. Ia pun mendekat, melepaskan alas kakinya dan menaruhnya di bawah kaki Dion. Tadi dia panik mana ingat untuk mengambil sepatu atau sandal untuk Dion terlebih dahulu.

“Pake sepatuku aja ya walaupun kegedean, atau mau di gendong?”

“Gila.”

Akhirnya Dion turun dan memakai sepatu Calvin yang kegedean bukan agak lagi.

Sepanjang jalan menuju parkiran banyak pasang mata yang tertuju ke arah mereka, tepatnya ke arah ke kaki Calvin yang hanya mengenakan kaos kaki hitam saja. Itu semua nggak luput dari pandangan Dion dan membuatnya merasa tidak enak karena membuat Calvin dipandang aneh oleh beberapa orang.

“Emang sih ya kalo orang ganteng tuh selalu jadi pusat perhatian.”

Dion menoleh ke samping, “jangan peduliin tatapan orang lain, selama kamu ada disini, di samping aku jalan sambil gandengan tangan gini, tatapan orang lain nggak ada artinya buat aku.” Ucapan dan senyum Calvin entah mengapa membuat Dion ingin meneteskan air mata.

Apa dia pantas dicintai sebegininya?

Dion tetap cengo walaupun udah pernah tinggal di rumah besar ini beberapa hari. Ia baru menyadari ada ruangan ini, dimana banyak buku berjejer dari kanan ke kiri dan juga beberapa foto keluarga yang punya visual di atas rata-rata. Mba Yura ternyata sangat cantik, pantas saja Al menamai kontaknya 'si cantik.'

Ini keluarga beneran keturunan dewa-dewi yang ketumpahan koin surga alias ganteng, cantik dan kaya raya.

“Al, gue ngapain?”

“Duduk, tunggu Mom sama Dad turun.”

“Tapi gue nggak enak cuma diem doang sementara banyak mbak-mbak yang hilir mudik nata meja makan.”

Calvin menghela napas, “gini loh sayangku, kamu ini tamu yang di undang buat makan di sini bukan buat bantu-bantu.”

Dion sudah mau mendebat perkataan Calvin tapi mulutnya kembali tertutup rapat dan menampilkan senyum secerah dan semanis yang ia bisa saat Mom dan Dad sampai di meja makan.

“Ardion?”

“Iya, Om.” Jawab Dion diakhiri dengan senyuman.

“Sudah kenal lama sama Calvin?” Ganti, Mom yang bertanya.

“Baru beberapa bulan ini, Tante.”

“Belum lama ternyata ya.”

“Iya, Tante.”

Calvin khawatir, jujur dia juga sama takutnya dengan Dion karena mereka ini benar-benar berbeda, bagaikan langit dan bumi tapi nyatanya mereka bisa menyatu bahkan melampaui ekspetasi.

“Kamu suka baca buku nggak?”

“Suka Tante, tapi aku sukanya baca novel kalo buku yang berat-berat gitu kayak nggak cocok aja rasanya.”

“Sukanya literasi fiksi ya ternyata.”

“Iya Tante, kayak Percy Jackson gitu, cerita tentang mitologi dewa Dewi Yunani.”

Dad cuma diam, tapi Calvin tahu kalau Dion sudah berhasil masuk dan curi perhatian.

Kekhawatirannya ternyata tidak berguna karena Dion sudah mencairkan suasana dan membaur dengan kedua orangtuanya. Ia juga harus mengucapkan beribu terimakasih pada Mommy setelah ini karena tidak menanyakan tentang latar belakang Dion sama sekali.

Dion.... Wah, Calvin dibuat takjub dengan tindak tanduk Dion yang mendadak elegan dan sopan ini sepertinya nggak cocok disandingkan dengan kata tersebut.

Cara Dion duduk tegap, makan dengan benar dan sendok yang cari mulut alias tidak membungkuk ini jelas beri satu centang di kriteria menantu bagi Dad dan Mom.

“Gimana makanannya, sesuai selera?”

“Enak banget om, jelas jauh dari seleraku yang suka makanan pinggir jalan.”

“Loh, om juga suka kulineran makanan pinggir jalan.”

“Wah, iya?”

“Iya, bisa lah kita ntar kapan-kapan kulineran bareng.”

“Rame ya ada kamu disini. Pasti kamu ya yang banyak ngomong kalo lagi sama Calvin?” Tanya Mom sambil lap mulut pakai tisu.

“Nggak juga Tante, Al juga seru kok hehe.” Dion mencubit paha Calvin, bersitatap lalu beri kode lewat senyum yang Calvin sendiri jelas tahu apa artinya.

“Mom, Dad. Al, bawa Dion istirahat dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa bisa telfon aja.”

“Istirahat yang santai ya, anggep aja rumah sendiri.” Dad ikut berdiri dan mengantar kedua anak lelaki ini sampai ke tangga berputar ke lantai dua.

Calvin menggenggam tangan lelakinya begitu pintu kamar tertutup, Dion menarik tangan Calvin hingga dia jatuh diatas badan pacarnya.

Calvin memeluk Dion sambil mengistirahatkan dagunya di pucuk kepala lelakinya.

“Al, gue malu-maluin nggak?” Tanya Dion pelan.

“Enggak. Sama sekali nggak.”

Calvin usap punggung yang naik turun ini.

“Al”

“Hm?”

“Gue deg-degan banget tadi.”

“Kenapa?”

“Bapak lu ganteng banget.”

“HEH”

Dion mencubit perut Calvin, lalu berlari memeletkan lidah dan berakhir masuk dalam pelukan Calvin yang menggelitiki pinggangnya.

“HAHAHAHAHA.”

Gelak tawa keduanya bersautan meramaikan udara.

Dion tetap cengo walaupun udah pernah tinggal di rumah besar ini beberapa hari. Ia baru menyadari ada ruangan ini, dimana banyak buku berjejer dari kanan ke kiri dan juga beberapa foto keluarga yang punya visual di atas rata-rata. Mba Yura ternyata sangat cantik, pantas saja Al menamai kontaknya 'si cantik.'

Ini keluarga beneran keturunan dewa-dewi yang ketumpahan koin surga alias ganteng, cantik dan kaya raya.

“Al, gue ngapain?”

“Duduk, tunggu Mom sama Dad turun.”

“Tapi gue nggak enak cuma diem doang sementara banyak mbak-mbak yang hilir mudik nata meja makan.”

Calvin menghela napas, “gini loh sayangku, kamu ini tamu yang di undang buat makan di sini bukan buat bantu-bantu.”

Dion sudah mau mendebat perkataan Calvin tapi mulutnya kembali tertutup rapat dan menampilkan senyum secerah dan semanis yang ia bisa saat Mom dan Dad sampai di meja makan.

“Ardion?”

“Iya, Om.” Jawab Dion diakhiri dengan senyuman.

“Sudah kenal lama sama Calvin?” Ganti, Mom yang bertanya.

“Baru beberapa bulan ini, Tante.”

“Belum lama ternyata ya.”

“Iya Tante.”

Calvin khawatir, jujur dia juga sama takutnya dengan Dion karena mereka ini benar-benar berbeda, bagaikan langit dan bumi tapi nyatanya mereka bisa menyatu bahkan melampaui ekspetasi.

“Kamu suka baca buku nggak?”

“Suka tante, tapi aku sukanya baca novel kalo yang berat-berat gitu kayak nggak cocok aja rasanya.”

“Sukanya literasi fiksi ya ternyata.”

“Iya Tante kayak Percy Jackson gitu, cerita tentang mitologi dewa Dewi Yunani.”

Dad cuma diam, tapi Calvin tahu kalau Dion sudah berhasil masuk dan curi perhatian.

Kekhawatirannya ternyata tidak berguna karena Dion sudah mencairkan suasana dan membaur dengan kedua orangtuanya. Ia juga harus mengucapkan beribu terimakasih pada Mommy setelah ini karena tidak menanyakan tentang latar belakang Dion sama sekali.

Dion.... Wah, Calvin dibuat takjub dengan tindak tanduk Dion yang mendadak elegan dan sopan ini sepertinya nggak cocok disandingkan dengan kata tersebut.

Cara Dion duduk tegap, makan dengan benar dan sendok yang cari mulut alias tidak membungkuk ini jelas beri satu centang di kriteria menantu bagi Dad dan Mom.

“Gimana makanannya, sesuai selera?”

“Enak banget om, jelas jauh dari seleraku yang suka makanan pinggir jalan.”

“Loh, om juga suka kulineran makanan pinggir jalan.”

“Wah, iya?”

“Iya, bisa lah kita ntar kapan-kapan kulineran bareng.”

“Rame ya ada kamu disini. Pasti kamu ya yang banyak ngomong kalo lagi sama Calvin?” Tanya Mom sambil lap mulut pakai tisu.

“Nggak juga Tante, Al juga seru kok hehe.” Dion mencubit paha Calvin, bersitatap lalu beri kode lewat senyum yang Calvin sendiri jelas tahu apa artinya.

“Mom, Dad. Al, bawa Dion istirahat dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa bisa telfon aja.”

“Istirahat yang santai ya, anggep aja rumah sendiri.” Dad ikut berdiri dan mengantar kedua anak lelaki ini sampai ke tangga berputar ke lantai dua.

Calvin menggenggam tangan lelakinya begitu pintu kamar tertutup, Dion menarik tangan Calvin hingga dia jatuh diatas badan pacarnya.

Calvin memeluk Dion sambil mengistirahatkan dagunya di pucuk kepala lelakinya.

“Al, gue malu-maluin nggak?” Tanya Dion pelan.

“Enggak. Sama sekali nggak.”

Calvin usap punggung yang naik turun ini.

“Al”

“Hm?”

“Gue deg-degan banget tadi.”

“Kenapa?”

“Bapak lu ganteng banget.”

“HEH”

Dion mencubit perut Calvin, lalu berlari memeletkan lidah dan berakhir masuk dalam pelukan Calvin yang menggelitiki pinggangnya.

“HAHAHAHAHA.”

Gelak tawa keduanya bersautan meramaikan udara.

Selepas memberi Calvin handuk dan baju ganti, Dion benar-benar mengabaikan keberadaan lelaki itu, ia tetap fokus pada drama yang sedang ditontonnya sambil memakan gultik yang dibawa Calvin tadi. Mengabaikan Calvin yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk tersampir di leher dan tetes-tetes air dari rambut basahnya.

Yang lebih tua duduk di belakang yang lebih muda, melingkarkan tangan di pinggang si manis yang terlihat tidak keberatan dengan aksinya.

“Kamu lama ya nungguin aku?” Tanya Calvin dengan menempelkan dagunya di kepala Dion.

“Maafin aku.” Lanjutnya, lalu mencium rambut Dion berkali-kali. Dion masih nggak perduli dan asik aja ngunyah makan malamnya yang telat.

“Ih, sakit kepala gue.” Dion menggeser kepalanya yang tertindih dagu.

“Maaf.” Calvin menjauhkan kepalanya sedikit supaya tidak menganggu Dion.

“Hm”

Calvin mengelus pipi Dion, “dimaafin atau nggak?”

“Iya gue maafin, udah ah lepasin.

Lain kali kalo lu lagi sibuk dan gak bisa jemput ya bilang, gue juga bisa pulang sendiri. Gue marah bukan karena nggak lu jemput tapi karena lu nggak ngasih kabar apapun sampe bikin gue nebak-nebak dan bingung sendiri.”

“Iya Ta, aku tau aku salah dan kedepannya aku bakal selalu ngabarin kamu biar kamu nggak bingung.”

Lalu keduanya fokus menonton tv. Dion saja sebenarnya, kalau Calvin sih niat awalnya kesini kan untuk minta maaf dan kangen-kangenan, bukan untuk menonton tv, jadi mau ada jaksa yang lagi kejar-kejaran sama megalodon juga tidak akan terlihat di matanya. Fokusnya dari tadi hanya pada bibir Dion yang sibuk mengunyah nasi.

“Enak banget ya, sampe aku nggak ditawarin” iseng Calvin.

Dion mendongakkan kepalanya ke atas, ke arah Calvin. “Mau?“lalu menyodorkan sesendok nasi dari piringnya.

“Nggak yang, tadi aku cuma becanda. Kamu aja yang makan biar makin berisi.” Calvin menepuk-nepuk perut Dion gemas.

“Serius, mau nggak?”

“Nggak, sayang. Tadi kan aku udah makan.”

Dion meletakkan piringnya agak jauh, lalu mengambil minum

“Loh udahan makannya?”

“Belum, minum dulu” lalu lanjut lagi menyendok nasi bercampur gulai yang tinggal setengah di piringnya.

Yaaaaaah. Lama. Batin Calvin gregetan.

“Udah?” Tanya Calvin lagi begitu Dion menyenderkan badan padanya.

“Kenapa sih dari tadi nanya itu mulu”

“Nggak apa-apa. Udah kan tapi?”

“Ya udah lah, orang abis juga, tinggal piringnya aja nih, ya kali gue makan dikata kuda lumping apa ya gue.”

Calvin tersenyum, lalu menarik pinggang ramping pacarnya supaya duduk di pangkuannya.

Dion melihat Calvin yang juga sedang melihat dirinya dari samping.

“Apasih?” tanya Dion, menaikan alis.

“Apanya?”

“Muka lu jelek banget”

“Buset yang.”

“He'em, muka lu jelek, mesum juga tau” Dion mendusel di leher Calvin. Buat yang dikatain jadi tertawa mendengarnya.

“Mesum. Tapi diduselin. Apa tuh namanya?” Tanyanya sembari mengambil tangan Dion untuk dicium.

“Apa?”

“Mancing”

“Mancing mania?”

“Mantap”

Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Ssst dah malem, jangan kenceng-kenceng nggak enak sama tetangga sebelah kamar kamu” Calvin menaruh satu jari di depan bibir Dion. Tapi jarinya malah digigit oleh si manis.

“Kok digigit” protes Calvin.

“Ya elu ngasihin”

“Jangan gigit yang ini”

Belum sempat Dion bertanya 'terus gigit yang mana?', jarinya langsung diganti oleh Calvin dengan bibirnya sendiri. Berujung kedua sejoli itu ciuman dengan dilihat para jaksa di tv.

Ini bukan kali pertama mereka berciuman tapi ciuman kali ini rasanya berbeda, Calvin mencium nya dengan sangat lembut,mengungkapkan bagaimana ia sangat sayang, cinta dan penuh damba pada lelaki yang sedang ia paut bibirnya, dan rasa itu sampai pada Dion, ia bisa merasakan semua itu. Dion mengganti posisinya supaya berhadapan dengan Calvin dalam pangkuan, membuat tautan bibir mereka semakin dalam. Calvin mengelus-ngelus pinggang ramping Dion, sesekali tangan dinginnya masuk ke dalam baju, mengelus pinggang sampai ke punggung pacarnya pelan, membuat Dion merinding sebadan-badan merasakan sensasinya. Ciuman mereka berlangsung lumayan lama sampai Dion mulai merasa kehabisan nafas.

“Rasa gultik” kata Calvin waktu ciuman mereka terlepas.

“Ih!” Dion menabok pundak Calvin dengan kencang. Lalu menyembunyikan wajah di leher yang lebih tua. Malu.

“Hahaha becanda. Enak kok.” ucap Calvin, mengusap-ngusap punggung Dion.

“Diem gak lu.” Salah banget Calvin ngomong kayak gitu, yang ada Dion malah semakin malu.

“Hey, kok ngumpet gini sih.” Calvin mencoba menarik tangan Dioln untuk duduk tegak, tapi anaknya masih betah menyembunyikan wajah.

“Tata...”

“Hmm”

“Liat sini.”

“Nggak mau.”

“Bentar aja.”

“Mau ngapain?” Dion akhirnya duduk menghadap Calvin.

“Cium lagi.”

Puk! Mulut Calvin dipukul sama Dion.

“Sakit, yang.”

“Lah, maaf kekencengan.”

Setelah itu bibirnya Calvin di elus-elus, berakhir dengan saling beradu tatap dan lanjut berciuman lagi.

“Bengkak dah bibirnya.” Calvin senyum-senyum mengelus bibir Dion yang kemerahan.

“Masa?”

“He'em”

Dio memanyunkan bibirnya, gelendotan di leher sembari ngerebahin kepalanya di pundak sang pacar. Sedangkan Calvin asik menciumi rambut Dion yang wanginya sangat menyegarkan.

“Aturan mah gue masih males liat muka lu, tapi yaudah lah cape ngambek lama-lama, ujung-ujungnya entar kangen juga.” kata Dion terus ngumpetin mukanya lagi di leher Calvin, menciumi aroma maskulin dari badan cowoknya.

Calvin sudah menahan senyumnya dari tadi. Baru kali ini dia nemuin Dion manja plus nggak gengsian kayak sekarang.

Memang tidak bisa dipungkiri waktu yang mereka habiskan bersama cukup sedikit apalagi akhir-akhir ini keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing padahal mereka baru saja resmi berpacaran. Otomatis rasa kangennya jadi numpuk. Belum lagi Calvin harus berurusan dengan keluarganya. Bikin kepalanya makin puyeng aja.

“Yang, aku pulang ya. Udah malem”

Dion mengecek jam di dinding kamar, hampir jam 11. Lalu kembali gelendotan lagi sama Calvin.

“Nanti aja sih” rengeknya manja.

“Nggak enak sama tetangga kalo kemaleman”

“Ga apa-apaa, tetangga gue mah pengertian”

Calvin mana nolak rejeki nomplok seperti ini.

“Tadi kamu kemana sih? Sampe nggak bisa di hubungin?”

“Makan malem sama Oma.”

Dion menganggukkan kepalanya. Mengerti.

“Hari ini capek banget ya yang?”

“Bangettttttttt.”

Obrolan mereka berlanjut, membahas apa saja yang mereka lalui hari ini. Dion menceritakan semuanya tanpa terkecuali, sedangkan Calvin banyak yang ia tutupi terutama tentang pertemuan keluarganya tadi. Dion sudah sebagian besar menceritakan semua tentang dirinya mulai dari keluarga, mantan dan teman-temannya karena menurut Dion keterbukaan dalam suatu hubungan itu sangat penting tapi Calvin masih enggan untuk terbuka pada Dion.