Keadaan Dion saat Calvin menemuinya di sebuah lobi hotel sukses membuatnya murka. ia terlihat bak orang linglung. Duduk di ujung sofa dengan wajah bingung, namun tatapan kosong.
Lalu, ketika akhirnya ia duduk di kursi penumpang mobilnya, Calvin dapat melihat dengan jelas paras manis si pemuda yang berubah pucat. Dengan hiasan warna kehitaman di bawah mata. Bibir yang juga pucat, dan hanya tampak memerah di titik tertentu, karena terluka. Serta, tangan mengepal yang bergetar samar.
Calvin ingin murka pada siapapun yang membuatnya seperti itu. Pada si empunya diri yang membiarkan hidup menghabisinya hingga babak belur. Pada dirinya sendiri yang sempat tak mau menemuinya. Juga, pada semesta yang memperlakukannya sekejam itu.
Ia benar-benar marah, namun di saat yang sama, Calvin pun tak mampu berbuat apa-apa.
Ia tak tahu harus mengambil sikap seperti apa — memeluknya, memarahinya, memberinya petuah, atau terus mendiamkannya seperti ini. Karena meskipun Dion ada di sampingnya, ia terasa sangat jauh. Tak tersentuh dan tergapai. Tak bisa dimengerti dan dipahami.
15 menit sudah berlalu, setelah Calvin menjemput Dion. Membawanya pergi dari kesendirian serta kekalutan yang teramat berbahaya baginya, ke tujuan tak pasti. Sekadar menyusuri jalan ibu kota, sebab ia yakin Dion tak ingin pulang ke kost nya.
Dion tau, hidup yang dijalani bertahun-tahun ini sudah sangat berantakan, sampai titik di mana tidak ada lagi nilai positif di dalamnya.
Dan ia sadar, semua itu karena ulahnya sendiri.
Iya, bukan hanya temannya saja yang lelah dengan dia. Bukan hanya orang-orang yang pernah bersamanya saja, yang menyerah menghadapinya. Bukan hanya Calvin saja yang ingin angkat tangan dalam memperjuangkannya. Dion juga merasakan hal yang sama.
Bahkan, bukan cuma orang-orang yang menganggapnya jahat. Dion pun punya anggapan serupa terhadap dirinya sendiri. Ia juga merasa jahat. Pada dirinya, teman-temannya, orang-orang yang ia sayang dan menyayanginya — semua.
Ia juga merasa brengsek. Ia merasa menjadi orang paling bajingan, yang dengan tega mempermainkan perasaan orang lain berulang kali. Yang dengan tega menyiksa hati mereka atas nama luka yang ia sendiri punya.
Serta, yang dengan kejam membunuh perlahan jiwanya sendiri dengan cara mengunci diri dalam sebuah kotak sempit nan gelap hanya bersama luka.
Tapi, terlepas dari semuanya, apa benar Dion tak pernah berusaha untuk keluar dari kotak itu?
Apa benar Dion tak pernah mencoba untuk berlari dan meraih tangan-tangan yang pernah terulur untuknya?
Apa benar semua yang dikatakan Bima, bahwasannya ia hanya pasrah dan selalu pasrah?
Tidak.
Tidak benar sama sekali.
Dion juga pernah berusaha. Dion juga pernah mencoba.
Demi seisi alam semesta, Ardion Dirgantara bersumpah, ia juga pernah ambil sikap untuk melawan semua rasa sakitnya. Untuk menyembuhkan semua luka yang merenggut kebahagiaannya.
Ia pernah melewati malam dalam sesak, hanya demi memberanikan diri untuk coba bercengkrama dengan orang yang ia sudah tau intensinya apa. Ia pernah melewati malam dalam kepanikan, hanya demi memberanikan diri untuk coba menghabiskan waktu bersama seseorang. Ia pernah melewati malam dalam ketakutan, hanya demi memberanikan diri untuk coba membuka hati dan diri.
Langkahnya memang cenderung kecil. Terkesan tidak ada sama sekali, malah. Tapi, sekecil apapun itu, ia melakukannya dengan susah payah dan terseok-seok.
Sayang, tak ada satu orang pun yang melihat usahanya dalam keluar dari penderitaan hidup, hanya karena ia berakhir gagal.
Tak ada satu orang pun yang percaya ia telah mencoba memperbaiki diri, hanya karena ia berakhir menyerah.
Lalu, semua langsung menunjuknya sebagai yang paling bersalah, hanya karena kini terlihat pasrah.
Tanpa mereka tau, pasrah itu didapat dari lelah berkepanjangan. Karena dengan terus-menerus mencoba, ia juga bisa merasa cukup. Dengan terus-menerus berusaha bangkit saat sudah tersandung berulang kali, lukanya juga bisa terbuka kembali.
Terlebih saat gagal maupun jatuh, tak ada yang berusaha ataupun mengajarkannya untuk meyakinkan diri, bahwa ia sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada yang mengajarkannya untuk rehat sejenak, sebelum mencoba lagi.
Alhasil, ia pun tumbuh jadi pribadi yang taunya hanya mencoba. Tanpa pernah berkenalan dengan istirahat.
Dan percayalah, gagal dalam mencoba suatu hal memang sebuah proses menuju keberhasilan. Namun, diri yang ditimpa kegagalan tanpa henti juga perlu dikasihani. Perlu diberi waktu untuk melepas lelah di hati. Perlu diapresiasi.
Karena jika tidak, hal itu justru menimbulkan efek samping yang dahsyat. Yang dapat membuat kondisi seseorang menjadi lebih parah. Terutama orang-orang seperti Dion, yang pada dasarnya memang tidak pernah baik-baik saja.
Orang-orang yang akan berakhir menyalahkan dirinya sendiri, atas hal yang sebenarnya sangat wajar terjadi dalam sebuah proses menuju penyembuhan dan kebahagiaan.
Tapi, kembali lagi, tak ada yang menganggap niat kecilnya dalam menyembuhkan diri itu ada. Maupun, harapannya untuk hidup lebih baik.
Hingga akhirnya, ia menganggap dirinya hanya kegagalan tak tertolong. Ia menganggap dirinya tak lebih dari pribadi yang mau pasrah atau berusaha pun, akhirnya akan sama. Yakni, menyakiti orang terdekatnya.
Semesta bisakah,
Perlakukan Dion dengan lembut?
Kalau Dion salah tolong, beritahu perlahan.
Tolong, ingatkan Dion dengan sabar.
Tolong, maafkan Dion atas semua kesalahan yang membuat hal buruk begitu suka memeluknya.
Tolong. Dion mohon untuk berhenti.
Bukan hidupnya yang berhenti, namun semua penyiksaan ini. Sebab jauh di dalam palung hatinya, selelah dan sebenci apapun dia terhadap diri sendiri, Dion masih ingin bahagia.
Sekali saja seumur hidupnya, ia ingin benar-benar bahagia dengan orang yang juga bahagia atas keberadaannya. Bahagia tanpa ketakutan akan bayang-bayang hal buruk akan menimpanya kemudian.
Tolong, beritahu Dion apa yang harus ia lakukan.
Tolong, ajarkan Dion cara hidup yang sebenarnya.
Dion tidak tahu.
Sungguh, ia tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu cara kerja semesta. Ia tidak tahu cara mendapatkan bahagia. Ia tidak tahu cara menyembuhkan diri, tanpa melukai orang lain.
Ia tidak tahu cara memperbaiki semuanya. Ia tidak tahu harus terus mencoba atau menyerah saja. Ia tidak tahu sama sekali langkah mana yang terbaik.
Sebab sejatinya, Ardion Dirgantara hanya seorang anak kecil yang terjebak dalam dunia orang dewasa.
Ardion Dirgantara hanya anak laki-laki yang sisa asa dalam jiwanya kemudian dipatahkan, dirampas, dan dihancurkan beberapa tahun lalu oleh seseorang yang begitu ia percaya.
Seseorang yang telah ia berikan seluruh cinta yang tersisa dalam dirinya. Seseorang yang telah ia relakan seluruh hidupnya untuk dia.
Sungguh, ia hanya anak-anak yang secara tak langsung, tak pernah diberikan pilihan untuk bahagia. Tak pernah diberikan kesempatan untuk menyayangi dirinya sendiri. Tak pernah diberikan waktu barang sedetik untuk menerima kenyataan pahit, sebelum menimpanya dengan kenyataan yang lebih menyakitkan.
Ardion Dirgantara hanya anak kecil. Jadi tolong — tolong, berhenti menyakitinya.
Dion tidak sadar tubuhnya sudah bergetar hebat. Ia tidak sadar kepalan tangannya kian mengetat.
Kondisi dirinya sendiri baru disadari, setelah tangan besar Calvin mendekap tangannya.
Ia tak berkata apa-apa. Matanya bahkan fokus ke jalan raya. Tapi dari genggaman eratnya, Dion tahu, Calvin peduli dengannya. Dari usapan lembut di punggung tangannya, Dion tahu, Calvin menyayanginya.
Maka dengan hati berkecamuk dan napas tersengal, Dion berusaha melawan semua rasa takutnya untuk membalas genggaman Calvin. Mendekap tangan itu dengan tak kalah erat. Sekaligus memohon dalam bisu untuk tidak melepaskannya.
Jangan pernah sekalipun melepaskannya, karena Dion takut sendiri. Dion takut dengan dirinya. Dion tidak bisa hidup hanya dengan dirinya.
Lalu, rasa takut yang selama ini membatasi ruang geraknya itu dilawan lagi. Meski sulit sekali rasanya bernapas untuk Dion saat ini, ia tidak peduli. Ia membuka mulutnya yang terasa kaku.
“Al…” Lantas dengan bibir bergetar, bisik pilunya terlontar. “S-sakit.”
Seketika itu juga, dunia Calvin terasa hancur.
Hancur sehancur-hancurnya, karena pengakuan itu terdengar terlampau menyakitkan untuknya.
Ia sampai menelan ludah, demi menetralisir emosi yang menahan kerongkongannya. “Gakpapa.” Ia eratkan genggamannya. “Gakpapa, nanti sembuh kok. Nanti aku bantu, ya?”
Dan saat ia kira dunianya tak bisa lebih hancur lagi, Diom membuktikan perkiraannya salah total.
Sebab tepat ketika rasa basah menyentuh punggung tangannya, ketika itu juga indra pendengar menangkap isak Dion.
Isakan kecil, yang belum sempat Calvin proses terlebih dahulu, serta-merta menjelma jadi tangis pilu. Menggema di seluruh sudut mobil, menyayat hati Calvin, hingga terasa luar biasa ngilu.
“S-sakit, Al..” ucapnya terbata, sebab tangis mengacak laju napas. “Sa-sakit banget.”
Tangan Calvin sontak dilepas. Lalu, Dion menggunakan telapaknya untuk menutup wajah. Untuk meredam suara tangisannya yang semakin kencang.
Benar-benar kencang, hingga Calvin dapat merasakan sesakit apa hati Dion saat ini.
Benar-benar kencang, hingga Calvin dapat mengerti seberat apa hidupnya. Sebesar apa beban yang ia bawa selama ini.
Benar-benar kencang, hingga tanpa pikir panjang, Calvin membanting stir ke bahu jalan. Memberhentikan mobilnya sembarang.
Lalu, ia lepas sabuk pengamannya dan milik Dion, sebelum menarik tubuh kurus itu ke dalam dekap. Memeluknya seerat mungkin, berusaha menahannya agar tidak hancur berkeping-keping. Menenggelamkan wajahnya di dada, membiarkan air mata membasahi hoodie hitamnya.
“S-sakit..,” lagi, Dion meracau tak jelas. “C-capek..” Baju Calvin dicengkram kuat olehnya. “Sakit banget, Al…”
“Shh..,” Berulang kali, Calvin usap punggung Dion, dengan penuh kasih. “Nanti sembuh, Sayang. Nanti pasti sembuh.”
Berulang kali juga, ia kecup puncak kepalanya penuh sayang. “You’re doing great. Kamu udah bertahan dan berusaha sejauh ini, kamu pasti sembuh. Aku yakin, semua luka kamu pasti bisa sembuh.”
Samar, Calvin merasakan kepala Dion menggeleng di dadanya. Menolak percaya dengan perkataannya. “I hurt you. I’m n-not doing great. I hurt you, Al. Maaf… Maafin aku…”
“Shh.., tata, sayang, gakpapa, okay? Aku gakpapa.”
“Please — please, percaya aku udah coba. Please percaya aku udah berusaha perbaikin diriku. Tapi aku gagal lagi. Maafin aku, Al... Aku minta maaf. Aku minta maaf, Al… I don’t deserve you, I’m sorry. I’m sorry, please forgive me.”
Demi Tuhan, air mata sudah menggenang di pelupuk mata Calvin saat ini.
Iya, Calvin sangat tahu apa yang dilakukan Dion salah. Ia sangat tahu, dirinya berhak mendapatkan permintaan maaf dari Dion. Tapi, tidak begini. Tidak sekarang.
Tidak saat ia sendiri sedang sehancur ini. Tidak saat ia sendiri sedang berusaha mati-matian untuk tetap hidup.
“Al, sakit banget. Aku gak ngerti harus apa. Aku gak tau harus gimana lagi. Aku — Please, maafin aku yang kayak gini. Maafin aku yang harus jadi anak broken home. Maafin aku yang bego dan lemah. Maafin aku yang kayak ayahku. Maaf — tolong, maafin aku, Al. Maaf — “
Tak sanggup dengan racauan Dion yang semakin kemana-mana, Calvin kembali mengeratkan pelukannya. Benar-benar erat, jika saja Dion sedang dalam kondisi baik, ia pasti akan protes karena badannya terasa remuk.
Tapi saat ini, ia tidak mengatakan apapun. Bahkan, racauannya malah berhenti. Sedangkan tangisnya bertambah kencang. Sebab sekarang, memang pelukan ini yang sangat ia butuhkan.
Memang dekapan sayang Calvin yang sangat ia butuhkan. Memang rengkuh hangat Calvin yang teramat ia butuhkan.
Memang hanya Calvin Mahendra yang ia butuhkan. Tidak ada lagi.
“Nggak semua salah kamu. Dengarin aku, Dion, nggak semua salah kamu,” bisiknya, tepat di telinga Dion. Suaranya pun bergetar, sebab tak kuat menahan luapan berbagai emosi. “Nggak semua harus kamu yang nanggung bebannya. Nggak semua harus kamu yang tanggung jawab. Nggak semua, oke?”
Diam, hanya tangis yang menjawab.
“Kamu nggak lemah, sayang. Kamu udah bertahan sejauh ini, dari mananya lemah?” Tangan Calvin tidak pernah diam. Terus membelai surai hitam Dion, serta mengusap punggunya yang tak henti bergetar. “You’re the strongest person I’ve ever knew. You’re brave and I’m proud of you. I really do. I really really do, taa.”
Calvin tak main-main saat mengatakan itu. Bukan hanya untuk menenangkan pun menguatkan, tapi karena ia benar-benar bangga pada Dion.
Sebab untuknya, Dion sungguhlah kuat. Ia teramat kuat, sampai bisa bertahan sejauh ini. Ia sangat kuat, sampai berani meneleponnya untuk mencari pertolongan. Ia sangat kuat, sampai berani menunjukkan sehancur apa ia sebenarnya. Ia sangat kuat, sampai mampu mengakui kondisinya sendiri.
Ardion Dirgantara di mata Calvin Mahendra adalah pribadi yang sangat kuat.
Meski tidak ada yang menganggapnya begitu atau mengapresiasi setiap usahanya pun, Calvin tidak masalah sama sekali menjadi satu-satunya orang yang terus mengingatkan Dion akan seberapa hebat dirinya.
Sementara di sisi satunya, alih-alih menjawab, tangis Dion malah semakin kuat terdengar. Ia terisak — meraung-raung, di dada Calvin. Namun kali ini bukan hanya karena sakit di hati, melainkan rasa syukur yang teramat, yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Rasa syukur karena takdir mempertemukannya dengan sosok Calvin Mahendra.
Sosok yang tidak pergi, meski saat ia mengusirnya. Sosok yang tidak lari, meski saat ia menunjukkan titik terendahnya.
Sosok yang tidak melepaskannya barang sedetik, meski saat dirinya sudah hancur berkeping-keping.
“Nangis, Taa, Nangis sepuas kamu.”
Sosok yang tidak hanya ingin melihat tawanya, melainkan juga tangisnya. Sosok yang tidak pernah berhenti memeluknya, juga merengkuhnya dengan kasih sayang.
“Cry and let all the pain go.” Vokal lembut Calvin mengudara, menelusup ke telinga Dion, lalu mendekap hangat hatinya. “Let it all go, then let it heal. Aku di sini. Aku akan selalu temenin kamu dan gak akan pergi ke mana-mana.”
Malam itu, di mobil Calvin, Dion menangis sejadi-jadinya. Ia runtuhkan tembok kokoh pelindung dirinya. Ia tunjukkan sebenar-benar dirinya. Ia lunakkan keras hatinya. Ia ceritakan semua yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Semua, mulai dari kedua orang tuanya, hingga semua perkataan Jade tempo hari. Tanpa melebihkan, pun mengurangi. Tanpa menutupi, pun menyembunyikan.
Walau masih sulit dan sakit; walau Dion harus berkali-kali menjeda ceritanya untuk kembali menangis di pelukan Calvin, ia tidak pernah berhenti.
Karena semua perjuangan yang Calvin Mahendra lakukan, serta ketulusan dan kasih sayang yang ia berikan untuknya, lebih dari layak untuk dibayar tuntas dengan hal yang paling sulit Dion berikan kepada orang lain;
Yakni, kepercayaannya.
Kepercayaan yang teramat besar, sampai mampu membuatnya berani untuk menepis semua ketakutannya.